PENERAPAN TEORI BELAJAR DALAM PEMBELAJARAN MATEMATIKA (Salamia)

Abstrak

Artikel ini mendeskripsikan tentang penerapan beberapa teori belajar dalam pembelajran matematika. Teori tersebut adalah teori Thorndike, Teori Bruner dan, teori Ausubel. Pemahaman guru tentang teori belajar merupakan salah satu faktor pendukung keberhasilan pembelajaran di sekolah. Seorang guru sangat perlu memperoleh wawasan tentang teori belajar agar dapat menerapkannya dalam pelaksanaan pembelajaran di dalam kelas. Wawasan tersebut diharapkan menjadi acuan bagi guru dalam merancang dan melaksanakan pembelajaran ,dewasa dan berwibawa dalam mengajar, memahami peserta didik, memahami bagaimana seharusnya proses pembelajaran berlangsung, serta menilai pelaksanaan pembelajarannya sendiri. Tujuan penulisan artikel ini adalah untuk menambah referensi bagi guru dalam memahami teori-teori belajar yang dikemukakan oleh para ahli dalam pendidikan.

Kata kunci: Teori Thorndike, Teori Bruner, Teori Ausubel.

Pendahuluan

Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara (Undang-Undang tentang Sistem Pendidikan Nasional No. 20 Tahun 2003). Pendidikan memerlukan guru yang kompeten untuk mewujudkan suasana belajar dalam Undang-Undang tersebut. Guru kompeten seharusnya memiliki kriteria dalam memilih metode yang tepat dalam melaksanakan pembelajaran, mampu menyesuaikan metode pembelajaran dengan materi yang akan disajikan, memahami karakteristik peserta didik dan lain-lain. Kompetensi guru ini dapat diperoleh melalui pemahaman yang memadai tentang teori-teori pembelajaran.

Teori belajar ialah teori yang bercerita tentang kesiapan siswa untuk belajar sesuatu. Atau uraian tentang kesiapdidikan siswa untuk menerima sesuatu (Ruseffendi, 1990 15). Teori pembelajaran memiliki peran penting dalam menentukan bagaimana proses pembelajaran di kelas terjadi. Guru seharusnya menguasai sejumlah teori-teori belajar sebelum merancang perencanaan pelaksanaan pembelajaran. Penguasaan teori-teori pembelajaran dimaksudkan sebagai pertanggungjawaban secara ilmiah perilaku mengajar guru di kelas.

Terdapat banyak teori-teori pembelajaran dalam pendidikan yang dikemukakan oleh para tokoh pendidikan, antara lain: (1) teori pembelajaran behaviorisme dengan tokoh:  Ivan Pavlov,  Edward L. Thorndike, Erdwin R. Guthrie dan Burrus Frederick Skinner, (2) teori pembelajaran kognitivisme dengan tokoh: Jean Piaget, David P. Ausubel, Jerome Bruner, dan Albert Bandura,  (3) teori pembelajaran humanistik dengan tokoh: David P. Ausubel, Habermas, Honey dan Mumfofd, dan (4) teori pembelajaran konstruksivisme dengan tokoh:  Vygotsky,  Jean Piaget, John Dewey dan Jerome Bruner. Berikut ini dibahas ke-empat teori-teori pembelajaran tersebut.

Teori belajar yang akan dibahas dalam artikel ini adalah: teori Edward L. Thorndike, teori Jerome Bruner dan teori David P. Pembahasan difokuskan pada penerapannya dalam pembelajaran matematika SD/MI dan SMP/MTs.

TEORI JEROME S. BRUNER

Bruner membagi penyajian proses pembelajaran dalam tiga tahap, yaitu tahap enaktif, ikonik dan simbolik (Sadiq).

Tahap Enaktif

Pada tahap ini, siswa dituntut untuk mempelajari pengetahuan matematika dengan menggunakan benda konkret (benda nyata yang dapat diamati dengan menggunakan panca indera siswa). Pengetahuan sebagian besar dalam bentuk respon motorik, siswa dapat lebih baik menunjukkan pekerjaan pisik ketimbang mendeskripsikan secara tepat tugas yang sama,

Contoh:

Ketika siswa belajar penjumlahan dan pengurangan, siswa dapat menggunakan benda konkret seperti: batu, buah-buahan, lidi, ataupun sedotan.

Tahap Ikonik

Tahap berikutnya adalah tahap ikonik, dimana siswa mempelajari suatu pengetahuan dalam bentuk gambar atau diagram sebagai perwujudan dari kegiatan yang menggunakan benda konkret atau nyata tadi. Jika pada proses pembelajaran penjumlahan dua bilangan bulat dimulai dengan menggunakan benda nyata berupa garis bilangan sebagai “jembatan”, maka tahap ikonik untuk beberapa penjumlahan dapat saja berupa gambar atau diagram.

Contoh: dengan diagram garis bilangan, gambar koin positif dan koin negatif dan lain-lain.

Tahap Simbolik

Pada tahap ini pengetahuan sudah di bangun dengan menggunakan simbol-simbol matematika dan bahasa. Penyajian simbolik dibuktikan oleh kemauan seseorang lebih memperhatikan preposisi/pernyataan daripada obyek-obyek yeng memberikan struktur hirarkis pada konsep-konsep kemungkinan alternatif dalam suatu cara kombinatorial.

Belum cukup hanya dengan menggunakan garis-garis bilangan maupun koin positif dan negatif, baik secara enaktif (menggunakan benda nyata) maupun ikonik (menggunakan gambar atau diagram), dalam menjumlahkan dua bilangan bulat. Untuk itu, menurut Bruner, para siswa harus melewati suatu tahap dimana pengetahuan tersebut diwujudkan dalam bentuk simbol-simbol abstrak. Dengan kata lain, siswa harus mengalami proses berabstraksi. Berabstraksi terjadi pada saat seseorang menyadari adanya kesamaan di antara perbedaan-perbedaan yang ada Cooney, 1975 (Sadiq).

Penerapkan teorema Bruner dapat diwujudkan dalam berbagai kegiatan seperti yang dikemukakan oleh Edgar Dale dalam bukunya “Audio Visual Methods in Teaching” (Kemendikbud) sebagai berikut:

Pengalaman langsung

Anak diminta untuk mengalami, berbuat sendiri dan mengolah, merenungkan apa yang dikerjakan,

Pengalaman yang diatur

Contoh dalam membicarakan sesuatu benda, jika benda tersebut terlalu besar atau kecil, atau tidak dapat dihadirkan di kelas maka benda tersebut dapat diragakan dengan model.

Contoh dalam matematika adalah model-model anggota himpunan tertentu, peta, gambar benda-benda yang tidak mungkin dihadirkan di kelas seperti binatang, pohon, bumi, dan lainlain.

Dramatisasi

Contoh   permainan peran,  sandiwara  boneka  yang bisa digerakkan ke kanan atau ke kiri pada garis bilangan.

Demonstrasi

Biasanya dilakukan dengan menggunakan alat-alat bantu seperti papan tulis, papan flanel, LCD, dan lain-lain. Banyak topik dalam pembelajaran matematika di SMP yang dapat diajarkan dengan demontrasi, misalnya: penjumlahan, pengurangan, pecahan, dan lain-lain.

Karyawisata

Kegiatan ini sebenarnya sangat baik untuk menjadikan pelajaran matematika disenangi siswa. Kegiatan yang diprogramkan dengan melibatkan penerapan konsep matematika seperti mengukur tinggi obyek secara tidak langsung, mengukur lebar sungai, mendata kecenderungan kejadian dan realitas yang ada di lingkungan merupakan kegiatan yang sungguh sangat menarik dan sangat bermakna bagi siswa serta bagi daya tarik pelajaran matematika di kalangan sisw.

Pameran

Pameran adalah usaha menyajikan berbagai bentuk model-model kongkret yang dapat digunakan untuk membantu memahami konsep matematika dengan cara yang menarik. Berbagai bentuk permainan matematika ternyata dapat menyedo perhatian anak untuk mencobanya, sehingga jenis kegiatan ini juga cukup bermakna untuk diterapkan dalam pembelajaran matematika.

Televisi sebagai alat peragaan

Program pendidikan matematika yang disiarkan melalui media TV juga merupakan alternatif yang sangat baik untuk pembelajaran matematika.

Televisi sebagai alat peragaan

Program pendidikan matematika yang disiarkan melalui media TV juga merupakan alternatif yang sangat baik untuk pembelajaran matematika.

Penerapan Teori BRUNER (Nuryadi)

Pembelajaran Menemukan Rumus Luas Daerah Persegi Panjang.

Guru menunjukkan contoh bangun persegi dengan berbagai ukuran dilingkungan sekitar.

Guru guru menunjukkan bentuk-bentuk bukan contohnya bangun datar lainnya seperti, persegi panjang, jajar genjang, trapesium, segitiga, segi lima, segi enam, lingkaran.

Langkah-langkah pembelajaran:

Tahap Enaktif

  1. Siswa diarahkan untuk mengukur atau menghitung panjang dan lebar bangun persegi panjang yang tersusun dari petak-petak satuan seperti pada contoh dibawah ini. (semakin banyak variasi bangun semakin baik)
  2. Siswa mengisinya tabel yang tersedia sesuai dengan hasil perhitungan.
  • Tahap Ikonik 

Siswa diajak menghitung banyaknya satuan persegi dengan cara membilang dan kemudian dibimbing untuk menemukan hubungan antara satuan panjang dan lebar untuk menentukan luas bangun.

  • Tahap Simbolis

Siswa diminta untuk mengeneralisasikan untuk menenukan rumus luas daerah persegi panjang. Jika simbolis ukuran panjang adalah p, ukuran lebarnya adalah l, dan luas daerah persegi panjang adalah L, maka rumus luas persegipanjang dapat digeneralisasikan menjadi:

  • jawaban yang diharapkan adalah:

            L = (p x l) satuan

  • Jadi luas persegi panjang adalah ukuran panjang dikali dengan ukuran lebar.

TEORI BELAJAR EDWARD LEE THORNDIKE

Teori belajar Thorndike

Teori belajar Thorndike di sebut “ Connectionism” karena belajar merupakan proses pembentukan koneksi-koneksi antara stimulus dan respon. Teori ini sering juga disebut “Trial and error” dalam rangkan menilai respon yang terdapat bagi stimulus tertentu. Thorndike mendasarkan teorinya atas hasil-hasil penelitiannya terhadap tingkah laku beberapa binatang antara lain kucing, dan tingkah laku anak-anak dan orang dewasa. Objek penelitian dihadapkan kepada situasi baru yang belum dikenal dan membiarkan objek melakukan berbagai pada aktivitas untuk merespon situasi itu, dalam hal ini objek mencoba berbagai cara bereaksi sehingga menemukan keberhasilan dalam membuat koneksi sesuatu reaksi dengan stimulasinya.

Teori belajar stimulus-respon yang dikemukakan oleh horndike ini disebut juga koneksionisme. Teori ini menyatakan bahwa pada hakikatnya belajar merupakan proses pembentukkan hubungan anatara stimulus dan respon. Terdapat beberapa dalil atau hukum kesiapan (law of readiness), hukum latihan (law of exercise) dan hukum akibat (law of effect).

Thorndike juga mengemukakan konsep transfer belajar yang disebutnya transfer of training. Konsep ini maksudnya adalah penggunaan pengetahuan yang telah dimiliki siswa untuk menyelesaikan suatu masalah baru, karena di dalam setiap masalah, ada unsur-unsur dalam masalah itu yang identik dengan  unsur-unsur pengetahuan yang telah dimiliki.

Schunk (2012:101-104) mengutip hasil eksperimen Thorndike tentang beberapa hukum-hukum dan prinsip-prinsip dalam belajar dan, yaitu: (1) Hukum Latihan (Exercise), (2) Hukum Akibat (Effect Laws), (3) Hukum Kesiapan (Law of Readiness), dan (4) Prinsip Peralihan Asosiatif (Asssociating Shifting). Schunk (2012:101-104) mengutip hasil eksperimen Thorndike tentang beberapa hukum-hukum dan prinsip-prinsip dalam belajar, yaitu: (1) Hukum Latihan (Exercise), (2) Hukum Akibat (Effect Laws), (3) Hukum Kesiapan (Law of Readiness), dan (4) Prinsip Peralihan Asosiatif (Asssociating Shifting).

Hukum Latihan (Exercice) terdiri dari dua yaitu: Hukum Kegunaan (Law of Use) dan Hukum Ketidakgunaan (Law of Disuse). Law of Use adalah sebuah respons terhadap sebuah stimulus akan memperkuat koneksi keduanya sedangkan Law of Disuse adalah ketika tidak diberikan pada sebuah respons terhadap stimulus maka kekuatan koneksinya menurun. Latihan akan memperkuat koneksi antara stimulus dan respons.

  1. Hukum Akibat(Effec), menekankan bahwa akibat yang menyenangkan dari suatu perbuatan akan cenderung dipertahankan dan akibat yang tidak menyenangkan cenderung akan ditinggalkan.
  2. Hukum Kesiapan (Law of Readiness), menyatakan bahwa ketika seseorang dipersiapakan (sehingga siap) untuk bertindak maka melakukan tindakan tersebut merupakan imbalan (rewarding), sementara tidak melakukan merupakan hukuman (punishing).
  3. Prinsip Peralihan Asosiatif (Asssociating Shifting), mengacu pada situasi dimana respons yang diberikan untuk stimulus tertentu pada akhirnya ditujukan pada stimulus yang sama sekali berbeda, jika setelah percobaan yang berulang-ulang ada perbedaan-perbedaan    kecil    dalam   karakter   stimulus.  Transfer  (pengalihan)  terjadi  ketika
  4. situasi yang ada memiliki elemen yang identik dan memerlukan respons yang sama (Schunk, 2012:104).

Penerapan Teori Thorndike dalam Pembelajaran Matematika

Aplikasi teori Thorndike sebagai slaah satu aliran psikologi tingkah laku dalam pembelajaran tergantung dari beberapa hal seperti: tujuan pembelajaran, sifat materi pembelajaran, karakteristik siswa, media dan fasilitas pembelajaran yang tersedia. Setiap pembelajaran yang berpegang pada teori belajar behavioristik telah terstruktur rapi, dan mengarah pada bertambahnya pengetahuan pada siswa.Penerapan yang sebaiknya dilakukan dalam pembelajaran matematika adlah sebagai berikut:

  1. Sebelum memulai proses belajar mengajar, guru harus memastikan siswanya siap mengikluti pembelajaran tersebut. Jadi setidaknya ada aktivitas yang dapat menarik perhatian siswa untuk mengikuti kegiatan belajar mengajar.
  2. Pembelajaran yang diberikan sebaiknya berupa pemebelajaran yang kontinu, hal ini dimaksudkan agar materi lampau dapat tetap diingat oleh siswa.
  3. Dalam proses belajar, pendidik hendaknya menyampaikan materi matematika denagn cara yang menyenangkan, contoh dan soal latihan yang diberikan tingkat kesulitannya bertahap, dari yang mudah sampai yang sulit. Hal ini agar siswa mampiu menyerap materi yang diberikan.
  1. Pengulangan terhadap penyampaian materi dan latihan, dapat membantu siswa mengingat materi terkait lebih lama.
  2. Supaya peserta didik dapat mengikuti proses pembelajaran, proses hars bertahap dari yang sederhana hingga yang kompleks.
  3. Peserta didik yang telah belajar dengan baik harus segera diberi hadiah, dan yang belum baik harus segera diperbaiki.
  4. Dalam belajar, motivasi tidak begitu penting, karena perilaku peserta didik terutama ditentukan oleh penghargaan eksternal dan bukan oleh intrinsic motivation. Yang lebih penting dari ini ialah adanya respon yang benar terhadap stimulus.
  5. Materi yang diberikan kepada peserta didik harus ada manfaatnya untuk kehidupan anak kelak setelah dari sekolah
  6. Thorndike berpendapat, bahwa cara mengajar yang baik bukanlah mengharapkan murid tahu bahwa apa yang telah di ajarkan, tetapi guru harus tahu apa yang hendak diajarkan. Dengan ini guru harus tahu materi apa yang harus diberikan, respon apa yang diharapkan dan kapan harus memberi hadiah atau membetulkan respons yang salah.
  7. Tujuan pendidikan harus masih dalam batas kemampuan belajar peserta didik dan harus terbagi dalam unit-unit sedemikian rupa sehingga guru dapat menerapkan sesuai situasi.

Contoh Penerapan

Materi Ajar   :   Operasi Bilangan

SK                 :   Melakukan operasi hitung bilangan tiga

KD                :    Melakukan perkalian yang hasilnya bilangan tiga angka dan  pembagian tiga angka.

Proses Pembelajaran:

  1. Siswa dibagi dalam beberapa kelompok dengan 4 orang
  2. Setiap kelompok diberi amplop ke-1 yang berbeda warna. Amplop terdapat berisis soal-soal yang harus dikerjakan.
  3. Siswa diminta mengerjakan soal-soal tersebut pada kertas yang telah disediakan tanpa bertanya pada guru dan tanpa diberi bimbingan, sehingga hasil yang diperoleh adalah kemampuan dasar siswa.
  4. Setiap kelompok diberi amplop ke-2 yang bersisi soal yang sama untuk semua kelompok. Setiap selesai mengerjakan satu soal, setiap kelompok diberi jawabannya sampai soal selesai, Setiap kelompok bersama-sama mencocokkan jawaban yang dihasilkan. Hasil yang diperoleh adalah kemamouan selama latihan.
  5. Setiap kelompok di beri amplop ke-3 yang juga berisi soal-soal, kemudian siswa mengerjakannya tanpa diberikan jawaban.
  6. Apabila hasil belajar selama training lebih baik dari kemampuan dasar, maka telah terjadi proses belajar.

Hal yang dilakukan oleh Thorndike pada eksperimen terhadap kucing:

  • Siswa diberi beberapa soal latihan dan pada akhirnya siswa mampu mengerjakan soal latihan yang diberikan.
  • Selain diberi latihan, juga diberi umpan balik.
  • Umpan balik dapat memberi informasi bahwa hasil perkalian yang dilakukan siswa ada yang salah dan ada yang benar.
  • Efek tindakan dapat mendorong perubahan tindakan bimbingan oleh guru.
  • Hasil yang diperoleh adalah kemampuan setelah latihan.

Kelemahan dan Kelebihan Teori Thorndike dalam Pembelajaran Matematika

Kelemahan:

  1. Sering kali tidak mampu menjelaskan situasi belajar yang kompleks, sebab banyak variabel atau hal-hal yang berkaitan dengan pendidikan atau belajar yang tida dapat diubah menjadi sekedar hubungan stimulus dan respon.
  2. Teori ini tidak mampu menjelaskan alasan-alasan yang mengacaukan hubungan antara stimulus dan respon ini dan tidak dapat menjawab hal-hal yang menyebabkan terjadinya penyimpangan antara stimulus yang diberikan dengan responnya.

Kelebihan:

  1. Teori ini mengarahkan anak untuk berfikir linier dan konvergen. Belajar merupakan proses pembentukan atau shapping yaitu membawa anak menuju atau mencapai target tertentu.
  2. Membantu  guru dalam menyelesaikan indikator pembelajaran Matematika.

TEORI BELAJAR DAVID AUSUBEL

Ausubel adalah seorang ahli psikologi pendidikan. Teori belajar Ausubel terkenal dengan belajar bermakna dan pentingnya pengulangan sebelum belajar dimulai. Menurut Ausubel belajar dapat dikalifikasikan ke dalam  dua  dimensi (Sujadi & Dhoruri, 2016:37) yaitu:  (1) berhubungan  dengan  cara informasi atau  materi pelajaran yang disajikan pada siswa melalui penerimaan atau penemuan, dan (2) menyangkut cara bagimana siswa dapat mengaitkan informasi itu pada struktur kognitif yang telah ada, yang meliputi fakta, konsep, dan generalisasi yang telah dipelajari dan diingat oleh siswa.

          Pada dimensi pertama, informasi dapat dikomunikasikan kepada siswa baik dalam bentuk belajar penerimaan yang menyajikan informasi dalam bentuk final, maupun dalam bentuk belajar penemuan yang mengharuskan siswa untuk menemukan sendiri sebagian atau seluruh materi yang akan diajarkan. Pada dimensi kedua, jika siswa menghubungkan atau mengaitkan informasi itu pada pengetahuan yang telah dimilikinya, maka terjadi belajar bermakna. Jika siswa hanya dapat mencoba coba menghafalkan informasi baru itu, tanpa menghubungkannya pada konsep-konsep yang telah ada dalam struktur kognitifnya maka yang terjadi adalah belajar hafalan. Kaitan antara kedua dimensi tersebut dapat dilihata pada gambar di bawah ini.(Sujadi & Dhoruri, 2016:38).

Menurut Ausubel terdapat perbedan antara belajar menerima dengan belajar menemukan. Pada belajar menerima siswa hanya menerima, jadi tinggal menghapalkannya, sedangkan pada belajar menemukan konsep ditemukan oleh siswa, jadi siswa tidak menerima pelajaran begitu saja. Selanjutnya terdapat perbedaan antara belajar menghafal dengan belajar bermakna, pada belajar menghapal siswa menghafalkan materi yang sudah diperolehnya, sedangkan pada belajar bermakna materi yang telah diperoleh itu dikembangkannya dengan keadaan lain sehingga belajarnya lebih dimengerti.

Menurut Ausubel (dalam Dahar, 1986:116) prasyarat-prasyarat belajar bermakna ada dua sebagai berikut. (1) Materi yang akan dipelajari harus bermakna secara potensial; kebermaknaan materi tergantung dua faktor, yakni materi harus memiliki kebermaknaan logis dan gagasan-gagasan yang relevan harus terdapat dalam struktur kognitif siswa. (2) Siswa yang akan belajar harus bertujuan untuk melaksanakan belajar bermakna. Dengan demikian mempunyai kesiapan dan niat untuk belajar bermakna.

Prinsip-prinsip dalam teori belajar Ausubel

Menurut Ausubel faktor yang paling penting yang mempengaruhi belajar adalah apabyang sudah diketahui siswa. Jadi agar terjadi belajar bermakna, konsep baru atau informasi baru harus dikaitkan dengan konsep-konsep yang telah ada dalam struktur kognitif siswa. Dalam menerapkan teori Ausubel dalam mengajar, terdapat konsep-konsep atau prinsip-prinsip yang harus diperhatikan. Prinsip-prinsip tersebut (Sujadi & Dhoruri, 2016:39). adalah:

  1. Pengaturan Awal (advance organizer). Pengaturan Awal mengarahkan siswa ke materi yang akan dipelajari dan mengingatkan siswa pada materi sebelumnya yang dapat digunakan siswa dalam membantu menanamkan pengetahuan baru.
  2. Diferensiasi Progresif. Pengembangan konsep berlangsung paling baik jika unsur-unsur yang paling umum, paling inklusif dari suatu konsep diperkenalkan terklebih dahulu, dan kemudian barudiberikan hal-hal yang lebih mendetail dan lebih khusus dari konsep itu. Diferensiasi progresif adalah cara mengembangkan pokok bahasan melalui penguraian bahan secara heirarkhis sehingga setiap bagian dapat dipelajari secara terpisah dari satu kesatuan yang besar (Sulaiman,1988:203).
  3. Belajar Superordinat. Selama informasi diterima dan diasosiasikan dengan konsep dalam struktur kognitif (subsumsi), konsep itu tumbuh dan mengalami diferensiasi. Belajar superordinat dapat terjadi apabila konsep-konsep yang telah dipelajari sebelumnya dikenal sebagai unsur-unsur dari suatu konsep yang lebih luas, lebih inklusif.

Penyesuaian Integratif (Rekonsiliasi Integratif). Mengajar bukan hanya urutan menurut diferensiasi progresif yang diperhatikan, melainkan juga harus diperlihatkan bagaimana konsep-konsep baru dihubungkan pada konsep konsep superordinat. Guru harus memperlihatkan secara eksplisit bagaimana arti-arti baru dibandingkan dan dipertentangkan dengan arti-arti sebelumnya yang lebih sempit, dan bagimana konsep-konsep yang tingkatannya lebih tinggi sekarang mengambil arti baru.

Penerapan Teori Ausubel dalam Pembelajaran

Dadang Sulaiman (1988) menyarankan agar penerapan teori Ausubel dilakukan dalam dua fase pembelajaran, yakni fase perencanaan dan fase pelaksanaan. Fase perencanaan terdiri dari: menetapkan tujuan pembelajaran, mendiagnosis latar belakang pengetahuan siswa, membuat struktur materi dan memformulasikan pengaturan awal. Sedangkan fase pelaksanaan pembelajaran terdiri dari: pengaturan awal, diferensiasi progresif, dan rekonsiliasi integratif.

Fase Perencanaan

Langkah-langkah fase perencanaan (Sujadi & Dhoruri, 2016:40)

  1. Langkah pertama dalam merencanakan pembelajaran adalah menentukan tujuan pembelajaran. Model Ausubel dapat digunakan untuk mengajarkan hubungan antara konsep dan hubungan antar generalisasi.
  2. Mendiagnosis latar belakang pengetahuan siswa, model Ausubel ini cukup fleksibel untuk dipakai dalam mengajarkan konsep dan generalisasi, dengan syarat guru harus menyadari latar belakang pengetahuan siswa.
  3. Membuat struktur materi secara hirarkhis, merupakan salah satu pendukung untuk melakukan rekonsiliasi integratif dari teori Ausubel.
  4. Memformulasikan pengaturan awal (advance organizer), menurut Eggen (1979:277), pengaturan awal dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu: (a) mengaitkan materi pelajaran dengan struktur pengetahuan siswa, (b) mengorganisasikan materi yang dipelajari siswa.

Fase Pelaksanaan

Langkah-langkah fase pelaksanaan (Sujadi & Dhoruri, 2016:41)

  1. Guru berusaha agar siswa tidak pasif dengan membangun/mempertahankan adanya interaksi dengan siswa melalui tanya jawab, memberi contoh perbandingan dan sebagainya berkaitan dengan ide yang akan disampaikan.
  1. Guru hendaknya mulai dengan advance organizer dan menggunakannya hingga akhir pelajaran sebagai pedoman untuk mengembangkan bahan pengajaran.
  2. Guru menguraikan pokok-pokok bahasan menjadi lebih terperinci melalui diferensiasi progresif.
  3. Jika guru telah yakin bahwa siswa mengerti akan konsep yang disajikan maka ada dua pilihan langkah berikutnya yaitu:

a. Menghubungkan atau membandingkan konsep-konsep itu melalui rekonsiliasi integratif,

b. Melanjutkan dengan diferensiasi progresif sehingga konsep tersebut menjadi lebih luas.

Contoh Penerapan Penerapan Teori Belajar Ausubel pada Pembelajaran Matematika.

Pokok bahasan:  Pertidaksamaan Linear satu variabel

Langkah-langkah pelaksanaan:

Fase Perencanaan :

(a) Menetapkan tujuan pembelajaran, yakni siswa memahami dan dapat menenyelesaiakan pertidaksamaan linear satu variabel; (b) Indikator: Menentukan penyelesaian pertidaksamaan linear satu variabel; (c) Mendiagnosis latar belakang pengetahuan siswa dalam memahami pokok bahasan pertidaksamaan linear, yakni: Persamaan linear satu variabel (materi SMP kelas-7); (d) Penyelesaian persamaan linear satu variabel (materi SMP kelas-7); (e) Keekuivalenan pada persamaan linear satu variabel (materi SMP kelas-7 Membuat struktur materi; (f) Mementukan struktur materi tentang pertidaksamaan linear satu variabel sebagai berikut:

  1. Mengenal persamaan linear satu variabel
  2. Pengertian pertidaksamaan linear satu variabel
  3. Menyelesaian pertidaksanaan linear satu variabel.

(g) Memformulasikan pengaturan awal, untuk mengajarkan pokok bahasan pertidaksamaan linear di kelas-7 SMP adalah sebagai berikut.

Fase Pelaksanaan.

Pada fase pelaksanaan guru melakukan kegiatan sebagai berikut:

PENUTUP

Edward L. Thorndike mengemukakan bahwa belajar adalah proses interaksi antara stimulus dan respon. Stimulus adalah apa saja yang dapat merangsang terjadinya kegiatan belajar seperti pikiran, perasaan, atau hal-hal yang dapat ditangkap melalui alat indera. Sedangkan respon adalah reaksi yang dimunculkan siswa ketika belajar, yang juga dapat berupa pikiran, persaan atau gerakan (tindakan). Dari definisi belajar tersebut maka perubahan atau tingkah laku akibat kegitan belajar itu dapat berujud kongkrit sehingga dapat diamati.

Teori belajar stimulus respon yang dikemukakan oleh Thorndike ini disebut juga Koneksionisme. Teori Koneksionisme menyatakan bahwa pada hakikatnya belajar merupakan proses pembentukan hubungan antara stimulus dan respon. Terdapat beberapa hukum yang dikemukakan Thorndike, yang mengakibatkan munculnya stimulus respon ini, yaitu hukum kesiapan (law of readiness), hukum latihan (law of exsercise) dan hukum akibat (law of effect).

Jerome Bruner dalam teorinya menyatakan bahwa belajar matematika berhasil jika proses pengajaran diarahkan kepada konsep-konsep dan struktur-struktur yang terbuat dalam pokok bahasan yang diajarkan. Dengan mengenal konsep dan struktur yang tercakup dalam bahan yang sedang dibicarakan, siswa akan memahami materi yang harus dikuasainya itu. Ini menunjukkan bahwa materi yang mempunyai suatu pola atau struktur tertentu akan lebih dipahami dan diingat anak.

Brunner, melalui teorinya itu, mengungkapkan bahwa dalam proses belajar siswa sebaiknya diberi kesempatan untuk memanipulasi benda-benda (alat peraga). Melalui alat peraga yang ditelitinya itu, anak akan melihat langsung bagaimana keteraturan dan pola struktur yang terdapat dalam benda yang sedang diperhatikannya itu. Keteraturan tersebut kemudian oleh siswa dihubungkan dengan keterangan intuitif yang telah melekat pada dirinya. Keaktifan siswa dalam proses belajar secara penuh sangat disarankan dalan teori belajar Bruner. Ausubel terkenal dengan teori belajar bermakna. Bermakna artinya bahan pelajaran itu harus cocok dengan kemampuan siswa dan harus relevan dengan struktur kognitif yang dimiliki siswa. Oleh karena itu, pelajaran harus dikaitkan dengan konsep-konsep yang sudah dimiliki siswa, sehingga konsep-konsep baru tersebut benar-benar terserap olehnya dimana faktor intelektual, emosional siswa terlibat dalam kegiatan pembelajaran.

Ausubel membedakan antara belajar menemukan dengan belajar menerima. Belajar menemukan adalah siswa mencari/menemukan konsep. Sedangkan belajar menerima adalah siswa hanya menerima konsep atau materi dari guru, dan siswa tinggal menghapalkannya. Selain itu Ausubel juga membedakan antara belajar menghafal dengan belajar bermakna. Belajar menghafal adalah siswa menghafalkan materi yang sudah diperolehnya. Sedangkan belajar bermakna adalah materi yang telah diperoleh dikembangkan pada dengan keadaan situasi yang lain sehingga belajarnya lebih bisa dimengerti.

Ausubel tidak setuju dengan pendapat yang mengatakan bahwa metode penemuan dianggap sebagai suatu metode mengajar yang baik karena bermakna, dan sebaliknya metode ceramah adalah metode yang kurang baik karena merupakan belajar menerima. Menurut Ausubel, baik metode penemuan maupun metode ceramah bisa menjadi belajar menerima atau belajar bermakna, tergantung dari situasinya. Beberapa hal terkait dengan teori Belajar Ausubel sebagai berikut:

Klasifikasi toeri belajar terdiri dari dua dimensi, yaitu:

  1. Cara informasi atau materi pelajaran yang disajikan pada siswa melalui penerimaan atau penemuan,
  2. Cara bagaimana siswa dapat mengaitkan informasi itu pada struktur kognitif yang telah ada, yang meliputi fakta, konsep, dan generalisasi yang telah dipelajari dan diingat oleh siswa.

Prasyarat-prasyarat belajar bermakna adalah sebagai berikut:

  1. Materi yang akan dipelajari harus bermakna secara potensial,
  2. Siswa yang akan belajar harus bertujuan untuk melaksanakan belajar bermakna.

Prinsip-prinsip belajar adalah:

  1. Advance Organizer (pengaturan awal),
  2. Diferensiasi Progresif,
  3. Belajar Superordinat,
  4. Rekonsiliasi Integratif (Penyesuaian Integratif).

Fase-fase penerapan adalah:

  1. Fase Perencanaan,
  2. Fase Pelaksanaan.

DAFTAR PUSTAKA

DAFTAR PUSTAKA

Dahar, Ratnawilis. (1996). Teori-teori Belajar. Jakarta: Erlangga.

Nuryadi,  Aplikasi Teori Bruner Dalam Pembelajaran Matematika di Tingkat SD, http://made82math.wprdpress,com

Schunk, D. H. 2012. Learning Theories an Educational Perspective sixth edition. Diterjemahkan oleh : Eva Hamdiah dan Rahmat Fajar. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Shadiq, (2016). Aplikasi Teori Belajar, Depdiknas, PPPPTK Yogyakarta

Shadiq & Amini. (2011). Penerapan Teori Belajar dalam Pembelajaran Matematika di SD. PPPPTK Yogyakarta

Sujadi &  Dhoruri, (2016). Teori Belajar, Himpunan, dan Logika Matematika. Direktorat Jenderal Guru dan Tenaga Kependidikan.

Suherman, dkk.(2001). Strategi Pembelajaran Matematika Kontemporer. Universitas

Pendidikan Indonesia. Bandung: JICA.

Dipublikasi di Tak Berkategori | Tag , , | Meninggalkan komentar

PENGEMBANGAN NILAI KARAKTER GENERASI EMAS INDONESIA 2045 PADA KURIKULUM PENDIDIKAN MATEMATIKA Oleh: Salamia MTs.Negeri 1 Balikpapan Email: salamia4479@gmail.com

Abstrak. Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan tentang pengembangan nilai-nilai karakter generasi emas Indonesia 2045 pada kurikulum pendidikan matematika. Metode penelitian adalah kajian literatur integratif terhadap artikel dan buku yang membahas tentang: kurikulum pendidikan matematika, pendidikan karakter, nilai-nilai karakter, generasi emas 2045, pengembangan nilai karakter pada pendidikan matematika. Data yang diperoleh dideskripsikan secara kritis terkait dengan kajian pengembangan nilai karakter generasi emas Indonesia 2045 pada kurikulum pendidikan matematika. Hasil analisis menunjukkan bahwa; 1) diperlukan adanya kurikulum pendidikan matematika yang dapat digunakan sebagai pedoman dalam mengembangkan nilai-nilai karakter positif peserta didik; 2) pengembangan nilai-nilai karakter positif dapat dilakukan oleh guru matematika melalui proses pembelajaran di kelas pada setiap materi ajar; 3) Sikap dan perilaku positif seperti kemampuan berpikir kritis, logis, cermat, analitis, runtut, sistematis, dan konsisten, mandiri, jujur, adil, kerjasama, tanggung jawab adalah variabel–variabel karakter yang sangat penting untuk dikembangkan dalam kurikulum pendidikan matematika. Secara konsisten karakter positif tersebut  harus diimplementasikan dalam pelaksanaan pembelajaran matematika di kelas sebagai kontribusi dalam membangun karakter peserta didik. Manfaat dari kajian ini adalah dapat dijadikan rujukan bagi guru matematika dalam mengembangkan nilai-nilai karakter peserta didik pada pendidikan matematika sekolah melalui pembelajaran di kelas sebagai upaya membangun karakter yang kuat bagi generasi emas Indonesia 2045.

Kata Kunci. kurikulum pendidikan matematika, nilai-nilai karakter, generasi emas.

Pendahuluan

Pendidikan tersistematis diharapkan dapat menghasilkan generasi penerus bangsa berkualitas di mana mampu menyesuaikan diri dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, pergaulan internasional dan tentu akan menghasilkan masyarakat yang baik (good society) antara lain memiliki peradaban unggul dan mulia. Indikator masyarakat tersebut terlihat diantaranya adalah memiliki intelektual yang baik didukung dengan akhlak, moral, watak, etika, tutur kata dan perilaku yang baik. Oleh karena itu perkembangan pendidikan seharusnya terjadi sejalan dengan perubahan budaya kehidupan, karena pendidikan adalah salah satu bentuk perwujudan kebudayaan yang dinamis dan sarat dengan perkembangan (Amri, 2013: 1).

Selanjutnya, pendidikan adalah: 1) suatu proses di mana suatu bangsa mempersiapkan generasi mudanya untuk menjalankan kehidupan dan untuk memenuhi tujuan hidup secara efektif dan efisien; 2) suatu proses dimana suatu bangsa atau negara membina dan mengembangkan kesadaran diri diantara individu-individu; dan 3) suatu hal yang benar-benar ditanamkan selain menempa fisik, mental dan moral bagi individu-individu, agar mereka menjadi manusia yang berbudaya sehingga diharapkan mampu memenuhi tugasnya sebagai manusia yang diciptakan Allah Tuhan Semesta Alam, sebagai makhluk yang sempurna dan terpilih sebagai khalifahNya di muka bumi ini yang sekaligus menjadi warga negara yang berarti dan bermanfaat bagi suatu negara (Wibowo, 2013:2). Kemudian Al-Ghazali mengemukakan bahwa proses pendidikan haruslah mengarah kepada pendekatan diri kepada Allah dan kesempurnaan insani yang mengarahkan manusia untuk mencapai tujuan hidupnya yaitu bahagia di dunia dan di akhirat dan berlangsung terus-menerus sepanjang hayat (Abu Muhammad, 2013:46).

Berdsarkan pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa pendidikan adalah sebuah proses untuk mempersiapkan dan mengembangkan kesadaran diri (insani) dengan benar-benar menempa fisik, mental, dan moral agar; 1) mampu menjadi manusia berbudaya; 2) mampu menjadi warga negara yang bermanfaat; dan 3) mampu mengemban tugas sebagai khalifah di muka bumi mengarah kepada pendekatan diri kepada Allah dengan tujuan mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat.

Indonesia akan berusia 100 tahun pada tahun 2045 di mana generasi penerus bangsa masa itu adalah mereka yang sedang menempuh pendidikan formal pada jenjang pendidikan usia dini (PAUD), pendidikan dasar (SD/MI, SMP/MTs), pendidikan menengah (SMA/MA, SMK) dan Perguruan Tinggi (PT). Generasi ini disebut generasi emas Indonesia 2045 karena pada saat itu mereka berada pada periode yang sangat produktif, berharga, dan bernilai bagi bangsa dan negara Indonesia. Oleh karena itu perlu pembinaan secara sistematik dan efektif agar generasi tersebut menjadi manusia berkualitas, berkarakter, cerdas, dan kompetitif, untuk menghadapi beberapa permasalahan yang semakin kompleks pada masa yang akan datang. Dapat dipastikan bahwa pembinaan terhadap pendidikan memerlukan perhatian khusus dari pemerintah dan pemerintah telah banyak melakukan terobosan baru dalam bentuk kebijakan-kebijakan berskala besar.

Tidak dapat dipungkiri bahwa setelah 72 tahun kemerdekaan Indonesia telah banyak hasil pembinaan di bidang pendidikan yang telah tercapai namun belum sepenuhnya sesuai dengan harapan. Diperlukan optimisme dan upaya yang kuat, sistematik dan berkelanjutan dengan berbagai macam tantangan yaitu meningkatkan komitmen menjadikan pendidikan sebagai wahana utama untuk mewujudkan generasi penerus bangsa menjadi generasi berkualitas, mandiri, berkarakter, cerdas dan kompetitif,  bermartabat, religius, dan berdaya saing tinggi di dunia Internasional. Untuk itu diperlukan pengembangan nilai-nilai karakter dalam pendidikan di sekolah yang diintegrasikan dalam semua mata pelajaran sangat penting dilakukan dengan tujuan untuk menanamkan semangat, tekad dan energi yang kuat, pikiran positif, sikap optimis, rasa persaudaraan,  persatuan  dan kebersamaan yang tinggi melalui kegiatan pembelajaran dalam kelas termasuk pembelajaran matematika.

Kurikulum menempati kedudukan dan posisi sangat sentral dalam keseluruhan proses pendidikan sehingga berperan penting dan strategis dalam menentukan keberhasilannya terutama dalam pendidikan formal. Ketercapaian kurikulum dapat diketahui melalui intervensi pemerintah dalam bentuk pengawasan dan penilaian di mana guru sebagai pelaku pendidikan di sekolah seharusnya mampu mengembangkan kurikulum sesuai dengan tuntutan jaman dalam mencetak generasi emas Indonesia 2045. Terdapat banyak hal yang harus dikuasai oleh guru dalam mengembangkan kurikulum, termasuk di dalamnya adalah penguasaan model dan metode pembelajaran.

Gerakan Penguatan Pendidikan Karakter (PPK) menjelaskan bahwa pendidikan karakter adalah poros pelaksanaan pendidikan dasar dan menengah dan merupakan dimensi terdalam atau inti pendidikan nasional sehingga menjadi keharusan untuk melakukan internalisasi   nilai-nilai karakter dalam pendidikan formal sebagai wujud dukungan terhadap gerakan tersebut. Fokus PPK adalah struktur yang telah ada dalam sistem pendidikan nasional yang digunakan sebagai media untuk memperkuat pendidikan karakter bangsa. Terdapat tiga struktur yang dimaksud (Tim PPK, 2010) yaitu: (1) struktur program mencakup jenjang dan kelas, ekosistem sekolah, penguatan kapasitas guru, (2) struktur kurikulum mencakup kegiatan pembentukan karakter yang terintegrasi dalam pembelajaran (intrakurikuler), kokurikuler, dan ekstrakurikuler, dan (3) struktur kegiatan mencakup berbagai program dan kegiatan yang mampu mensinergikan empat dimensi pengolahan karakter dari Ki Hadjar Dewantara yaitu olah raga, olah pikir, olah rasa, dan olah hati.

Kajian Literatur

  1. Generasi Emas Indonesia 2045

Pada tahun 2035 diproyeksikan penduduk Indonesia berusia 0-14 tahun akan mengalami penurunan yang signifikan, dari proporsi sebesar 28,6 persen pada tahun 2010 turun menjadi 21,5 persen dan pada 2035. Selanjutnya penduduk yang berusia 65 tahun ke atas juga mengalami kenaikan yang signifikan, dari proporsi sebesar 5 persen pada 2010 diperkirakan naik menjadi 10,5 persen pada 2035 (Heryanah, 2015:7). Artinya usia produktif mengalami kenaikan. Kondisi ini dikenal dengan bonus demografi  (demographic dividend)  bagi   bangsa   Indonesia. Bonus demografi adalah  suatu kondisi dimana penduduk usia produktif yaitu usia 15-64 tahun lebih besar dibandingkan dengan penduduk usia tidak produktif  yaitu usia di bawah 5 tahun dan di atas 65 tahun (http://news.liputan6.com, 2017). Bonus demografi ini mengindikasikan bahwa Indonesia akan memiliki generasi muda produktif yang melimpah pada periode 2010-2035. Generasi muda tersebut adalah karunia dari Allah SWT yang akan menjadi potensi sumber daya manusia luar biasa dan berharga bagi bangsa Indonesia, sehingga disebut dengan generasi emas Indonesia. Diperlukan langkah-langkah pengelolaan pendidikan yang sistematik, efektif, efisien dan berkelanjutan menuju generasi emas Indonesia 2045.

Generasi emas adalah generasi yang memenuhi kriteria berikut: 1) memandang masa depan diri dan bangsanya sebagai hal yang pertama dan utama; 2) penuh optimisme dan gairah untuk maju dengan sikap dan pola pikir yang berlandaskan moral yang kokoh dan benar; 3)  memiliki visi ke depan yang cemerlang; 4) memiliki kompetensi yang memadai; 6) memiliki karakter yang kokoh; 7) memiliki kecerdasan yang tinggi; dan 8) berjiwa kompetitif (Wibowo, 2013: 3). Jika dikelola dengan baik, sistematik dan berkelanjutan secara efektif dan efisien maka akan bermanfaat untuk kemajuan bangsa Indonesia. Sebaliknya, jika pengelolaannya tidak baik, tidak sistematik, dan tidak berkelanjutan maka akan menjadi masalah bagi kemajuan bangsa Indonesia sendiri. Pendidikan formal menjadi wadah utama untuk mewujudkan generasi emas yang berkualitas. Sehinggga pembangunan bidang pendidikan mempunyai peran strategis dalam mengelola potensi sumber daya manusia tersebut agar menjadi generasi berkualitas, berkarakter, cerdas dan berdaya saing tinggi seperti yang diharapkan. Isu-isu pendidikan mutakhir yang perlu dicermati dengan baik untuk mewujudkan generasi emas 2045 (Rochmat Wahab, 2012). Isu-isu pendidikan mutakhir tersebut adalah: 1) pendidikan usia dini; 2) pendidikan universal 12 tahun; 3) pendidikan karakter; 4) pembelajaran aktif; 5) pendidikan inklusif; 5) pendidikan mulikultural; 7) pendidikan berbasis ITC.

Seiring perkembangan Iptek, pendidikan berkembang dan menghadapi berbagai permasalahan. Konsekuensi yang muncul adalah tidak mudah mengendalikan dinamika perubahan perilaku manusia. Namun demikian perbaikan sistem pendidikan harus selalu dilakukan secara berkelanjutan dan tidak terlepas dari peran guru yang berkualitas. Selanjutnya guru sebagai pengampu mata pelajaran di setiap jenjang pendidikan dituntut harus profesional yang menunjukkan kemampuan mengembangkan kurikulum terintegrasi dengan nilai-nilai karakter pada setiap mata pelajaran, termasuk mata pelajaran matematika.

  1. Pengembangan Nilai Karakter Generasi Emas Indonesia 2045 pada Kurikulum Pendidikan Matematika
  • Kurikulum Pendidikan Matematika

Menurut Tyler & Taba kurikulum adalah rencana tindakan atau dokumen tertulis yang mencakup strategi untuk mencapai tujuan yang diinginkan (Ornstein, 2004:10). Sedangkan dalam UU Nomor 20 tahun 2003 tentang SISDIKNAS dijelaskan bahwa kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi dan bahan pelajaran, serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu. Pendapat lain mengemukakan bahwa kurikulum adalah sebuah dokumen perencanaan yang berisi tentang tujuan yang harus dicapai, isi materi dan pengalaman belajar yang harus dilakukan siswa, strategi dan cara yang dapat dikembangkan, evaluasi yang dirancang untuk mengumpulkan informasi tentang pencapaian tujuan serta implementasi dari dokumen yang dirancang dalam bentuk nyata dikemukakan oleh (Sanjaya, 2008).

Berdasarkan pengertian di atas dapat dikemukakan bahwa: 1) kurikulum pendidikan berbentuk dokumen tertulis; 2) kurikulum berisi rencana dan pengaturan mengenai tujuan, bahan pelajaran, pangalaman belajar, strategi pembelajaran, dan evaluasi pembelajaran; 3) kurikulum digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan semua kegiatan pembelajaran 4) kurikulum mencakup seluruh kegiatan yang dilakukan selama proses pembelajaran; dan  5) kurikulum merupakan panduan untuk mencapai tujuan pendidikan. Selanjutnya, kurikulum adalah inti yang sangat penting dalam pendidikan, sehingga harus disusun secara sistematis, efisien dan efektif sesuai tujuan pembelajaran dan senantiasa berkembang secara dinamis sesuai dengan tuntutan perkembangan zaman. Kurikulum harus berkembang atau berubah disebabkan karena manusia memiliki fitrah mencari kebenaran, kebaikan, dan keindahan, memiliki multi-kecerdasan, harus hidup terhormat dan bermartabat, serta saling menghargai.

Setiap mata pelajaran mempunyai kurikulum masing-masing termasuk matematika yang diharapkan mampu menanamkan pengetahuan, karakter, nilai-nilai, dan keterampilan siswa sebagai bekal dalam menjalani kehidupan. Oleh karenanya sangat penting dilakukan sebagaimana matematika diharapkan mampu menyusun kurikulum yang dapat mengembangkan nilai-nilai karakter peserta didik dan melaksanakan kurikulum yang dihasilkan secara konsisten sebagai usaha (kontribusi) mewujudkan generasi emas Indonesia 2045.

Selanjutnya Permendikbud Nomor 58 tahun 2014 menjelaskan bahwa salah satu tujuan pembelajaran matematika di sekolah diharapkan peserta didik memiliki sikap dan perilaku yang sesuai dengan nilai-nilai dan pembelajarannya, seperti taat azas, konsisten, menjunjung tinggi kesepakatan, toleran, menghargai pendapat orang lain, santun, demokrasi, ulet, tangguh, kreatif, menghargai kesemestaan/konteks, kerjasama, adil, jujur, teliti, cermat, bersikap luwes dan terbuka, memiliki kemauan berbagi rasa dengan orang lain. Tujuan ini sejalan dengan karakter generasi emas yang diharapkan bangsa Indonesia, yaitu karakter generasi emas Indonesia 2045 haruslah memiliki sikap positif, pola pikir esensial, komitmen normatif dan kompetensi abilitas, dan berlandasan  IESQ (kecerdasan Intelektual Emosional dan Spritual) Manullang, (2013:1). Hal ini dapat terbentuk melalui empat dimensi pendidikan, yaitu knowledge, skills, character, dan metacognition (CCR, Mei 2015).

  • Nilai Karakter yang Dikembangkan

Karakter adalah tabiat; sifat-sifat kejiwaan, akhlak atau budi pekerti yang membedakan seseorang dengan yang lain; watak (http://kbbi.web.id/karakter). Karakter juga adalah kualitas atau kekuatan mental atau moral, akhlak atau budi pekerti individu yang merupakan kepribadian khusus yang menjadi pendorong dan penggerak, serta membedakan dengan individu lain (Hidayatullah , 2010:13). Simon Philips (2008) mengemukakan bahwa karakter adalah kumpulan tata nilai yang menuju pada suatu sistem, yang melandasi pemikiran, sikap, dan perilaku yang ditampilkan (Mu’in, 2011:160). Pendapat lain, karakter mengacu pada serangkaian sikap (attitudes), perilaku (behaviors), motivasi (motivations), dan keterampilan (skill) yang meliputi: sikap seperti keinginan untuk melakukan hal yang terbaik; kapasitas intektual seperti berpikir kritis, dan alasan moral; perilaku seperti jujur dan bertanggungjawab, kecakapan interpersonal dan emosional, komitmen untuk berinteraksi secara efektif dengan komunitas dan masyarakatnya (Naim, 2012:55). Selanjutnya dikemukakan bahwa unsur yang paling mendasar dari karakter adalah moral knowing, moral feeling, dan moral action sehingga karakter disebut sebagai value in action (Lickhona, 1992).

Berdasarkan pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa karakter adalah watak, tabiat, akhlak, atau kepribadian khusus seseorang yang mengacu pada sikap, perilaku, motivasi dan keterampilan, terbentuk dari hasil internalisasi berbagai kebajikan (virtues). Kebajikan terdiri atas sejumlah nilai, moral, dan norma, seperti jujur, berani bertindak, dapat dipercaya, dan hormat kepada orang lain. Karakter masyarakat dan karakter bangsa akan tumbuh melalui interaksi seseorang dengan orang lain dan dapat dikembangkan. Oleh karena itu, karakter bangsa hanya dapat dilakukan melalui pengembangan karakter individu. Akan tetapi, karena manusia hidup dalam lingkungan sosial dan budaya tertentu, maka pengembangan karakter individu hanya dapat dilakukan dalam lingkungan sosial dan budaya yang berangkutan. Sekolah sebagai lingkungan sosial dapat berfungsi untuk menumbuhkan karakter peserta didik (generasi) melalui internalisasi pendidikan karakter (character education) pada proses pembelajaran dalam kelas.

Pendidikan karakter harus disesuaikan dengan tahap-tahap pertumbuhan dan perkembangan anak (Madjid & Andayani, 2013:23-27). Tahap-tahap pendidikan karakter tersebut adalah: 1) tauhid (usia 0–2 tahun); 2) adab (usia 5–6 tahun); 3) tanggung jawab (usia 7–8 tahun);  4) sharing-peduli (usia 9–10 tahun); 5) kemandirian (usia 11–12 tahun); dan 6) bermasyarakat (13 tahun ke atas).  Jika tahap-tahap pendidikan karakter dilakukan dengan baik maka pada tingkat usia berikutnya tinggal menyempurnakan dan mengembangkan. Pendidikan karakter telah dicanangkan oleh pemerintah melalui Gerakan Pendidikan Karakter (PPK) pada tahun 2010. Hal ini menunjukkan bahwa pemerintah memberikan perhatian khusus terhadap penyempurnaan dan pengembangan karater generasi muda bangsa. Guru mempunyai peran dan tanggung jawab dalam menyukseskan Gerakan PPK dengan melakukan pengembangan terhadap nilai-nilai karakter yang ada.

Terdapat empat dimensi pengolahan karakter dari Ki Hadjar Dewantara yaitu olah raga, olah pikir, olah rasa, dan olah hati. Dijelaskan oleh Suyanto (2010) bahwa: 1) olah raga artinya: tangguh, gigih, berdaya tahan, bersih dan sehat, disiplin, sportif, andal, bersahabat, kooperatif, determinatif, kompetitif, dan ceria; 2) olah pikir artinya: cerdas, kritis, kreatif, inovatif, ingin tahu, berpikir terbuka, produktif, berorientasi ilmu pengetahuan dan teknologi, serta reflektif; 3) olah rasa artinya: peduli, ramah, santun, rapi, menghargai, toleran, suka menolong, nasionalis, mengutamakan kepentingan umum, bangga menggunakan produk dan bahasa Indonesia, dinamis, kerja keras, dan beretos kerja. 4) olah hati artinya: Jujur, beriman dan bertakwa, amanah, adil, bertanggung jawab, berempati, berani mengambil resiko, pantang menyerah, rela berkorban, dan berjiwa patriotik. Ada lima nilai utama karakter yang saling berkaitan membentuk jejaring nilai yang perlu dikembangkan sebagai prioritas Gerakan PPK (Tim PPK, 2010). Kelima nilai utama karakter bangsa yang dimaksud adalah: religious, nasionalis, mandiri, gotong royong, dan integritas. Untuk mendukung gerakan PPK ini, maka guru (pendidik) matematika sekolah diharapkan mampu mengembangkan nilai-nilai karakter tersebut dalam menyusun kurikulum sebagai pedoman kegiatanpembelajaran di kelas, karena pada prinsipnya setiap materi ajar matematika dapat diintegrasikan dengan nilai-nilai karakter inti (spiritual, kemanusiaan, sikap matematis) dan karakter penunjang lainnya. Selanjutnya, pengembangan nilai karakter pada setiap materi ajar matematika memerlukan pemikiran kritis, inovatif dan motivasi tinggi, agar terfokus pada karakter yang akan dikembangkan dengan mempertimbangkan model dan metode pembelajaran matematika serta sumber belajar matematika yang diperlukan.

Buku ajar, media belajar dan lingkungan sekitar perlu dikembangkan sebagai sumber belajar matematika yang dapat dirancang. Variasi sumber belajar dapat dikembangkan sesuai dengan daya inovasi, kreasi, dan seleksi dengan mempertimbangkan efisiensi dan efektifitas.

3. Kesimpulan

Berdasarkan pembahasan di atas, maka pengembangan nilai karakter generasi emas Indonesia 2045 pada kurikulum pendidikan matematika dapat disimpulkan sebagai berikut:

  • Diperlukan adanya kurikulum pendidikan matematika yang dapat digunakan sebagai pedoman dalam mengembangkan nilai-nilai karakter positif peserta didik;
  • Pengembangan nilai-nilai karakter positif dapat dilakukan oleh guru matematika melalui proses pembelajaran di kelas pada setiap materi ajar;
  • Sikap dan perilaku positif seperti kemampuan berpikir kritis, logis, cermat, analitis, runtut, sistematis, dan konsisten, mandiri, jujur, adil, kerjasama, tanggung jawab adalah variabel–variabel karakter yang sangat penting untuk dikembangkan dalam kurikulum pendidikan matematika.

Daftar Pustaka

Amri, S. (2013). Pengembangan dan model pembelajaran dalam kurikulum 2013. Jakarta: Prestasi Pustaka.

Andayani, D., & Majid, A. (2011). Pendidikan Karakter Perspektif Islam. Bandung: Rosda Karya.

CCR (2015). Skills for the 21st century: What should student learn?. Boston, Massachusetts. http://www.curriculumredesign.org/

Heryanah, H. Ageing Population dan Bonus Demografi Kedua di Indonesia. Populasi23(2). https://jurnal.ugm.ac.id/populasi/article/viewFile/15692/10457

Hidayatullah, Furqon. (2010). Pendidikan Karakter: Membangun Peradaban Bangsa. Surakarta: Yuma Pustaka.

Iqbal, A. M. (2013). Konsep Pemikiran Al-Ghazali tentang Pendidikan. Madiun Jawa Timur: Jaya Star Nine.

Lickona, T. (2012). Educating for Character: mendidik untuk membentuk karakter. Jakarta: Bumi Aksara, diterjemahkan oleh Wamsungu dan editor oleh Uyu Wahyudin & Suryani.

Manullang, B. (2013). Grand Desain Pendidikan Karakter Generasi Emas 2045. Jurnal Pendidikan Karakter, (1).

Mu’in, F. (2011). Pendidikan Karakter Konstruksi Teoritik & Praktik Urgensi Pendidikan Progresif dan Revitalisasi Peran Guru dan Orang Tua. Jogjakarta: Ar-Ruzzmedia.

Republik Indonesia. (2014). Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 58 tahun 2014 Tentang Kurikulum 2013 Sekolah Menengah Pertama/Madrasah Tsanawiyah.

Republik Indonesia. (2003). Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.

Sanjaya, Wina. 2008. Kurikulum dan Pembelajaran. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.

Suyanto, 2010. Peran Pendidikan Profesi Guru (PPG) dalam Menyiapkan Tenaga Kependidikan yang Profesional dan Berkarakter. Direktorat Jenderal Manajemen Pendidikan dasar dan Menengah. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.

Tim. (2004). Ki Hadjar Dewantara, dalam Pandangan Para Cantrik dan Mantriknya. Yogyakarta: Majelis Luhur Persatuan Taman Siswa

Tim PPK. (2016). Konsep dan Pedoman Penguatan Pendidikan Karakter Tingkat Sekolah dasar dan Sekolah Menengah Pertama. Jakarta: Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia.

Tisngati, Urip. (2017). Pengembangan Kurikulum Pendidikan Matematika Berbasis Krakter. In Marsigit dkk. Yogyakarta: Graha Ilmu.

Wibowo, M. E. (2013). Menyiapkan Bangkitnya Generasi Emas Indonesia. In Prosiding Seminar Nasional X Biologi, Sains, Lingkungan dan Pembelajarannya.

Wahab, R. (2012). Menuju Generasi 2045.

Ornstein, A. C., & Hunkin, F. P. (2004). Foundations, Principles and Issues. New York, NY: Allyn.

Klik untuk mengakses vqdu1355307034.pdf

 

Dipublikasi di Nilai-nilai Karakter, kurikulum | Tag | Meninggalkan komentar

PEMECAHAN MASALAH (PROBLEM SOLVING) PADA PEMBELAJARAN MATEMATIKA (Salamia)

  1. Pengantar

Pembelajaran matematika telah mengalami perubahan mendasar dari pendekatan transfer pengetahuan (trasfer of knowledge) ke dalam memori peserta didik, menjadi pembelajaran dengan pendekatan yang mengarahkan peserta didik  memanfaatkan pengetahuan yang telah dimiliki (prior knowledge) atau pengetahuan yang telah ada dalam struktur kognitif peserta didik, dalam melakukan asimilasi informasi baru, untuk membangun pemahaman sendiri. Pembelajaran akan lebih bermakana apabila didasarkan pengetahuan dan pengalaman yang dimiliki peserta didik bukan berdasarkan pengethauan yang dimiliki guru. Pembelajaran dipandang sebagai suatu proses aktif dan interaktif untuk menghasilkan pemaknaan dan pemahaman yang akan merubah knowledge, psikomotor, afektif, karakter, pandangan, peserta didik. Rangkaian proses ini harus direalisasikan di dalam kelas dengan menerapkan beberapa teknik, salah satu diantaranya adalah teknik pemecahan masalah (problem solving).

Banyak peserta didik yang mengalami kesulitan dalam pemecahan masalah (problem solving) terkait dengan penerapan konsep-konsep materi ajar dalam kehidupan, sehingga proses pembelajaran yang berorientasi pada bagaimana memecahkan masalah juga mengalami kendala. Pembelajaran matematika yang berorientasi pada jawaban akhir sebagai tujuan problem solving menyebabkan kesulitan tersebut muncul. Oleh karena itu guru sebaiknya merubah paradigma tersebut dengan menekankan pada bagaimana proses problem solving dilakukan peserta didik dengan tidak menekankan pada tujuan akhir. Bagaimana proses problem solving sangat mendasar dan penting. Melalui proses tersebut peserta didik akan belajar dan terbiasa berpikir bagaimana meyelesaikan masalah yang ada.

Problem solving dalam pembelajaran matematika berbentuk masalah terkait penerapan konsep-konsep bahan ajar yang dialami siswa dalam kehidupan. Problem solving  diharapkan dapat meningkatkan knowledge, afektif dan psikomotor peserta didik dalam belajar matematika. Pengalaman belajar melalui problem solving dapat memberi gambaran tentang bagaimana minat menjadi pendorong untuk menguasai pengetahuan yang layak dan  menimbulkan keingintahuan, kepercayaan diri dan keterbukaan pikiran bagi peserta didik. Tugas guru adalah membantu mengembangkan kemampuan peserta didik agar knowledge, afektif dan psikomotor dapat berkembang dengan baik sehingga mereka mampu menerapkan konsep-konsep matematika dalam kehidupan sehari-hari melalui problem solving.

  1. Pembahasan
    • Pemecahan Masalah (Problem Solving)

Problem solving adalah satu pengolahan kognitif penting yang terjadi selama proses pembelajaran, dan mengacu pada usaha orang untuk mencapai tujuan karena mereka tidak memiliki solusi otomatis dan banyak pakar toeri pembelajaran yang menganggap bahwa problem solving adalah proses kunci dalam pembelajaran, khususnya pada matematika dan sains (Schunk, 2012:416). problem solving mengacu pada pemrosesan kognitif yang diarahkan untuk mencapai suatu tujuan ketika peserta didik dihadapkan masalah yang pada awalnya belum diketahui metode solusi pemecahannya secara langsung.

Munculnya masalah adalah ketika peserta didik memiliki tujuan tetapi tidak tahu bagaimana mencapainya. Masalah dapat diklasifikasikan sebagai masalah rutin atau tidak rutin. Masalah dalam bentuk penerapan konsep dalam kehidupan termasuk dalam masalah tidak rutin. Problem solving adalah pendekatan yang dapat digunakan dalam menyelesaikan maslah tidak rutin. Sehungga masalah tidak rutin berguna untuk: (1) mendorong peserta didik berpikir logis, (2) memperkuat pemahaman tentang konsep, dan (3) mengembangkan strategi pemecahan masalah yang dapat diterapkan pada situasi lain.

Problem solving tidak terjadi apabila peserta didik mempunyai kemampuan tinggi untuk menyelesaikan masalah yang memungkinkan mereka secara otomatis dapat melakukan aktivitas problem solving untuk mencapai tujuan. Oleh karena itu tidak semua aktivitas pembelajaran termasuk problem solving. Problem solving dapat dilakukan melalui beberapa cara misalnya: trial-and-rror (ujia coba), pemahaman dan heuristika (Schunk, 2012:417).

Uji coba kadang-kadang tidak efektif, karean jika tidak berhasil maka hanya  membuang-buang waktu. Pemahaman sering menimbulkan kesadaran secara tiba-tiba dalam menemukan solusi. Hasil penelitian Wallas (1921) dalam (schunk, 418) menemukan bahwa orang yang mampu memecahkan masalah dengan hebat mempformulasikan model dengan empat tahap yaitu: (1) persiapan, (2) inkubasi, (3) ilumunasi, dan (verifikasi). Tahap persiapan adalah waktu untuk mempelajari masalah dan mengumpulkan informasi yang mungkin sesuai dengan solusi. Tahap inkubasi adalah masa memikirkan masalah, dapat  berbentuk pembatasan masalah untuk sementara. Tahap iluminasi adalah masa perenungan apabila ada solusi yang mungkin muncul secara tiba-tiba dalam kesadaran. Tahap verifikasi adalah masa untuk menguji solusi yang ada untuk memastikan kebenarannya.

Heuristika adalah cara pemecahan masalah dengan menggunakan prinsip-prinsip yang biasanya menghasilkan solusi. Prinsip mental Polya (1945/1957) termasuk di dalamnya (Shcunk, 2012:420) adalah: (1) memahami masalah, (2) merancang rencana, (3) menjalankan rencana, dan melihat kembali. Bertanya “apa yang tidak diketahui”? dan “apa yang ditanya”? membantu untuk mamahami masalah dan menampilkan informasi yang diberikan. Mencoba menemukan hubungan antara data yang diketahui dengan data yang diketahui adalah bagian dari merancang rencana. Menjalankan rencana dengan memecah masalah menjadi sub-sub tujuan sangat bermanfaat karena memikirkan yang sama dan bagaimana menyelesaikannya, memeriksa setiap kebenaran tahapan pelaksanaan. Memeriksa kembali untuk memastikan apakah sudah benar?.

Bentuk heuristika lain dikemukakan oleh Bransford dan Stein (1984) dalam Shcunk, 2012:421) dikemal dengan IDEAL, yaitu: (1) Identify (mengidentifikasi) maslah, (2) Define (mendefinisikan) dan menampilkan masalah, (3) Act (melaksanakan) strategi, dan (4) Look back (melihat kemnbali) dan mengevaluasi pengaruh aktivitas Anda. Heuristika umum akan bermanfaat jika dilakukan pada konten yang tidak dikenal dan akan menjadi tidak efektif pada konten yang sudah diketahui karena kemapuan yang spesifik berimbang, akibatnya peserta didik menggunakan pengetahuan prosedural yang ada. Fleksibilitas heuristika akan dapat dilihat dalam hal bagaimana langkah-langkah itu dijalankan.

Implikasi hubungan antara problem solving dan pembelajaran menunjukkan bahwa peserta didik dapat mempelajari heuristika dan strategi untuk menjadi pemecah masalah yang handal, Bruning, et al,. (2004) dalam (Schunk, 2012:437). Untuk melatih kemampuan pemecahan masalah peserta didik, Andre (1986) dalam (Schunk, 2012:438) memberikan sepuluh saran yang mewakili produksi dalam memori, diambil dari teori dan hasil penelitian yaitu: (1) memberikan reprensentasi metafora pada siswa, (2) Meminta siswa membuat pernyataan selama pemecahan masalah, (3) menggunakan pertanyaan, (4) Berikan contoh, (5) koordinasikan ide, (6) gunakan pembelajaran penemuan, (7) berikan deskripsi verbal, (8) ajarkan strategi belajar, (9) gunakan kelompok kecil, dan (10) mempertahankan iklim psikologi positif.

  • Problem Solving dalam Pembelajaran Matematika

Pemecahan masalah (problem solving) dalam matematika adalah suatu proses kognitif yang kompleks untuk mengatasi suatu masalah dan memerlukan  sejumlah strategi dalam menyelesaikannya (Surya, 2011). Melalui Problem solving dalam matematika peserta didik akan memperoleh pengalaman dalam menyelesaikan masalah yang tidak rutin (tidak biasa) dengan menggunakan pengetahuan yang telah ada dalam struktur kognitif mereka. Masalah matematika tidak rutin yang dimaksud adalah masalah matematika yang terkait dengan penerapan konsep-konsep matematika dalam kehidupan sehari-hari. Penyelesaian masalah rutin memerlukan tingkat pemikiran matematika yang tinggi. Sementara penyelesaian masalah rutin (biasa) hanya mengikuti aturan (algoritma) dengan menghafal.

Pendekatan pembelajaran problem solving dalam matematika tidak hanya mengarahkan peserta didik untuk mampu menyelsaikan masalah matematika rutin dengan proses pembelajaran yang biasa, akan tetapi diharapkan agar mampu menyelesaikan masalah yang tidak rutin dengan proses pembelajaran yang mendukung. Pendekatan problem solving ini dapat menjadi tempat berlatih bagi peserta didik untuk mengembangkan kemampuan menemukan pola, mengenerasikan, dan komunikasi matematis, berpikir rasional, cermat, kritis, jujur, efektif dan logis.

Kemampuan tersebut mendukung tercapainya tujuan kurikulum matematika sekolah yakni perserta didik mampu menghadapi perkembangan dunia yang semakin tidak terbendung.  Pembelajaran dengan pendekatan problem solving merupakan strategi dalam proses pembelajaran matematika yang sangat penting dan diperlukan oleh peserta didik dalam menyelesaikan masalah matematika terkait dengan penerapan konsep-konsep matematika dalam kehidupan sehari-hari.

Nampak bahwa fokus penting pembelajaran matamatika adalah pendekatan problem solving sebagaimana yang terantum pada kurikulum mata pelajaran matematika jenjang SD/MI. SMP/MTs SMA/MA dan SMK. Hal ini dapat dilihat dalam setiap Kompetensi Dasar (KD) terdapat topik bahasan yang mengarahkan siswa untuk mampu menerapkan konsep-konsep matematika dalam menyelesaikan masalah dalam kehidupan sehari-hari. Penerapan konsep-konsep matematika pada pemecahan masalah tentu memerlukan kemampuan berpikir matematis yang tinggi.

Problem solving dalam pembelajaran matematika difokuskan pada pembelajaran topik matematika melalui konteks problem solving dan lingkungan yang berorientasi pada kemampuan peserta didik dan membantu guru membangun pemahaman mendalam tentang gagasan dan proses matematika dengan melibatkan peserta didik dalam aktivitas matematika: menciptakan, menduga, mengeksplorasi, menguji, dan verifikasi (Lester et al., 1994) Beberapa pendapat tentang karakteristik spesifik dalam problem solving matematika antara lain:

  • Van Zoest et al., (1994), karekteristik problem solving adalah:
  • Interaksi antara siswa dengan siswa dan intersksi antara guru dan siswa.
  • Dialog matematika dan konsensus antara siswa.
  • Cobb et al., (1991), karekteristik problem solving adalah:
  • Guru memberikan informasi yang cukup untuk menetapkan latar belakang/tujuan dari masalah, dan siswa mengklarifikasi, menafsirkan, dan mencoba untuk membangun satu atau lebih proses solusi.
  • Guru menerima jawaban yang benar / salah dengan cara yang tidak evaluatif
  • Lester et al., (1994), karekteristik problem solving adalah:
  • Guru membimbing, melatih, mengajukan pertanyaan dan sharing yang mendalam dalam proses pemecahan masalah
  • Guru mengetahui kapan tepat untuk melakukan intervensi, dan kapan harus melangkah mundur dan membiarkan murid membuat jalan mereka sendiri.
  • Evan dan Lappin, (1994), karekteristik problem solving adalah:
  • Pendekatan pemecahan masalah dapat digunakan untuk mendorong siswa membuat generalisasi tentang peraturan dan konsep, sebuah proses yang penting bagi matematika.

Problem solving adalah komponen penting dalam pendidikan matematika karena berperan sebagai  media (kendaraan) untuk mencapai nilai matematika pada aspek: fungsional, logis dan estetis yang dapat dicapai di tingkat sekolah. Matematika adalah disiplin ilmu yang esensial karena mempunyai peran praktis bagi individu dan masyarakat. Aspek matematika tersebut dapat dikembangkan melalui pendekatan Problem solving. Mengembangkan keterampilan yang diperlukan peserta didik untuk memecahkanmasalah dapat dilakukan dengan memberikan sebuah masalah yang dapat memberi motivasi dibandingkan dengan mengajarkan keterampilan tanpa konteks. Motivasi tersebut memberikan nilai khusus problem solving sebagai wadah untuk mempelajari konsep dan keterampilan baru atau penguatan keterampilan yang telah diperoleh (Stanic dan Kilpatrick, 1989, NCTM, 1989). Selanjutnya NCTM, (1980) merekomendasikan bahwa problem solving menjadi fokus pembelajaran matematika karena, mencakup bagian penting dalam kehidupan sehari-hari. Problem solving harus mencakup semua aspek pembelajaran matematika untuk memberi pengalaman tentang kekuatan matematika kepada peserta didik dalam upaya membangun, mengevaluasi dan memperbaiki teori mereka sendiri tentang matematika dan teori orang lain.

Nampaknya pemdekatan problem solving berkontribusi pada penggunaan praktis matematika antara lain; (1) membantu mengembangkan fasilitas agar mudah beradaptas, (2)  membantu untuk pindah ke lingkungan kerja baru, dan (3) mempersiapkan peserta didik menjadi  pelajar adaptif yang baik, untuk bekerja dengan efektif ketika tuntutan tugas berubah. Dengan demikian, maka tidaklah berlebihan apabila ada ungkapan bahwa kemampuan keterampilan problem solving adalah jantungnya matematika karena dapat digunakan pada berbagai situasi yang tidak biasa.

Melalui pendekatan problem solving ini pula peserta didik dapat memilih proses deduksi logis algoritma jika situasi memerlukan, dan kadang-kadang perlu mengembangkan aturan mereka sendiri apabila situasi algoritma tidak dapat langsung diterapkan, sehingga problem solving dapat dikembangkan sebagai keterampilan berharga dalam diri peserta didik, bukan hanya sebagai alat untuk  menemukan jawaban yang benar. Penekanan pendekatan problem sovling penting sebagai alat untuk mengembangkan aspek pemikiran logis matematika, dan mendorong individu untuk mendapatkan pengetahuan baru, karena matematika standar, dengan penekanan pada perolehan pengetahuan, tidak selalu memenuhi kebutuhan. Selain itu  teknik problem sovling dianggap sangat penting sebagai bentuk estetika karena memungkinkan peserta didik untuk mengalami berbagai emosi dalam tahap-tahap proses menemukan solusi masalah.

NTCM (1980 dan 1989) merekomendasikan agar kurikulum matematika disusun berorientasi pada pemecahan masalah, dengan fokus sebagai berikut:

  • Mengembangkan keterampilan dan kemampuan untuk menerapkan keterampilan ini ke situasi yang tidak biasa.
  • Mengumpulkan, mengorganisir, menafsirkan dan mengkomunikasikan informasi.
  • Merumuskan pertanyaan kunci, menganalisis dan mengkonseptualisasikan masalah, menentukan masalah dan sasaran, menemukan pola dan persamaan, mencari data yang sesuai, bereksperimen, mentransfer keterampilan dan strategi ke situasi baru.
  • Mengembangkan rasa ingin tahu, kepercayaan diri dan keterbukaan pikiran.

Problem solving dalam pembelajaran bertujuan untuk : (1) mendorong peserta didik untuk memperbaiki dan membangun proses kognitif mereka sendiri, dan (2) mengembangkan pengetahuan peserta didik, dan (3) mengembangkan pemahaman kapan waktu yang tepat untuk menggunakan strategi tertentu, dan (4) membuat peserta didik lebih bertanggung jawab atas pembelajaran mereka sendiri daripada membiarkan mereka merasa bahwa algoritma yang mereka gunakan adalah penemuan beberapa ahli dan tidak dipahami. Terkait dengan tujuan tersebut peserta didik terlibat secara aktif dalam problem solving dengan merumuskan dan memecahkan masalah mereka sendiri, dan juga menulis ulang masalah dengan kata-kata mereka sendiri dalam rangka untuk memudahkan pemahaman. Penting untuk dicatat bahwa melalui teknik problem solving peserta didik mendapat dorongan terkait dengan proses yang sedang mereka lakukan sebagau upaya untuk memperbaiki pemahaman, menemukan wawasan baru tentang masalah dan mengkomunikasikan gagasan mereka.

  • Penerapan Problem Solving dalam pembelajaran Matematika

Pembelajaran  melalui problem solving tentu  dimulai dengan sebuah masalah. Peserta didik belajar dan memahami aspek penting dari konsep atau ide dengan mengeksplorasi situasi masalah. Masalah yang digunakan cenderung lebih terbuka dan memungkinkan beberapa jawaban yang benar dan beberapa pendekatan solusi. Dalam mengajar melalui pemecahan masalah, masalah tidak hanya berokus pada rangsangan untuk belajar siswa, tapi juga berfungsi untuk eksplorasi matematika. Siswa berperan aktif dalam proses pembelajaran dengan mengeksplorasi  dan menemukan strategi solusi mereka sendiri, karena eksplorasi masalah merupakan komponen penting dalam pengajaran melalui pemecahan masalah.

Dibawah ini beberapa contoh penerapan problem solving dalam pembelajaran matematika;

Masalah 1

  • Rata-rata nilai tes sepuluh orang peserta didik adalah 78. Skor paling atas dan bawah yaitu 65 dan 95 dibuang oleh guru. Berapakah rata-rata sisa nilai yang tersisa?

Solusi peserta didik:

10 – 2 = 8

(95 + 65) = 160

160 : 10 = 16

78 – 16 = 62

62 x 10 = 620

620 : 8 = 77,5

            Jadi rata-rata sisa nilai setelah nilai atas dan bawah dibuang adalah, 77,5.

Deskripsi dari Solusi:

  • Peserta didik pertama kali menggunakan salah satu sifat rata-rata dan menentukan bahwa sisa peserta didik adalah 8 (diperoleh dari 10-2). Sehingga ada 8 nilai harus ada diantara 65 dan 95. Kemudian peserta didik membuat deretan sepuluh lingkaran, dengan meletakkan angka 95 di nomor pertama dan 65 di terakhir, 8 lingkaran lainnya dibiarkan kosong. Dengan menggunakan pendekatan modifikasi pembagian, peserta didik menyadari bahwa 65 dan 95 memberikan kontribusi 16 terhadap rata-rata   yaitu [(95 + 65) : 10] = 16. Selanjutnya peserta didik mengatakan bahwa masing-masing dari 8 lingkaran  kosong harus didapat 16. Tetapi karena 16 adalah 62 kurangnya dari 78 (16 adalah rata-rata untuk sepuluh nilai), peserta didik tersebut kemudian melakukan operasi perkalian 10 dengan 62 dan mendapat hasil 620. Selanjutnya 620 kemudian dibagi oleh 8 dan  mendapatkan 77,5. Jadi rata-rata  nilai yang tersisa setelah nilai atas dan bawah dibuang adalah 77,5.
  • Dalam solusi ini, peserta didik memiliki kata kunci yaitu membuang bagian atas dan bawah saat mengambil 16 dari masing-masing nilai lainnya. Dengan menemukan pendekatan ini, peserta didik tersbut telah menunjukkan pemahaman yang luar biasa tentang rata-rata. Peserta didik telah mampu menghubungkan pengetahuan awal yang telah ada dalam struktur kognitf mereka, namun demikian peserta didik masih harus diarahkan untuk mengembangkan strategi yang lebih efisien.

Nampak jelas bahwa peserta didik mampu menciptakan strategi mereka sendiri menyelesaikan masalah. Dalam pembelajara ini peserta didik diberi kesempatan untuk mendiskusikan strategi alternatif untuk menyelesaikan masalah sebelum proses penyelesaian masalah berlangsung.  Pertanyaannya adalah:

  • Bagaimana perserta didik belajar menggunakan strategi yang ada sebelum ada instruksi yang terjadi?
  • Bagaimana pengetahuan dan pengalaman yang dimiliki peserta didik untuk menciptakan strategi yang masuk akal?

Jawaban yang mungkin dari pertanyaan ini adalah:

Prosedur yang diciptakan peserta didik bersumber dari kedalaman intuisi dan cara berpikir alami mereka. Selanjutnya perlu mengkaji lebih jauh tentang bagaimana cara berpikir alami peserta didik dalam problem solving matematika.

Masalah 2

  • Satu karung beras mempunyai berat 240 kg. Untuk menyamakan berat satu karung beras dengan beberapa orang, berapa orangkah yang diperlukan?.

Beberapa Solusi peserta didik:

  1. 240 : 6 =  40

Kerena 6 x 40 = 240

Jadi ada 6 orang dengan berat badan masing-masing 40 kg

  1. 240 : 8 = 30

Karena 8 x 30 = 240

Jadi, ada 8 orang dengan berat masing-masing 30 kg

  1. 3 orang beratnya 20 kg dan 6 orang beratnya 30 kg.

(3 x 20) + (6 x 30)

 = 60 + 180

 = 240.

  1. (2 x 5) + (10 x 23) = 10 + 230 = 240

Jadi, ada 2 orang beratnya 5 kg dan 10 orang beratnya 23 kg.

Misalkan:

x = berat badan orang I

 y = berat badan orang II

 x = 5 dan y = 10

berapa kali 5 ditambah dengan berapa kali 10 menghasilkan 240.

Jadi, dapat ditulis: 2x  + 10y  = 240

Deskripsi solusi peserta didik:

  • Masalah ini adalah mempunyai banyak solusi (open ended). Sehingga solusi no. 1 dan no.2 di atas adalah benar, apabila memisalkan semua orang yang dimaksud mempunyai berat yang sama. Sehingga penyelesaiannya langsung menggunakan konsep pembagian biasa (algoritma pembagian). Peserta didik memanfaatkan pengetahuan yang telah tersimpan dalam struktur kognitif mereka terkait dengan operasi bilangan positif dan menggunakannya dalam penyelesaian masalah. Masih ada realitas lain yang dapat menjadi pemecahan. Bagaimana kalau berat yang dimaksud ada yang sama dan digabung dengan berat yang tidak sama?. Solusi no.3 dan no 4 adalah contohnya penyelesaian yang memenuhi. Penyelesaiannya memerlukan langkah-langkah, dan akan diperoleh banyak solusi. Kemampuan peserta didik dalam mengaitkan pengetahuan yang telah dimiliki menunjukkan kemampuan mereka dalam problem solving.
  • Dalam hal ini peserta didik dengan solusi no.3 dan no.4 telah menggunakannya. Peserta didik telah melakukan pemrosesan informasi dalam menyelsaikan masalah dengan menggunakan pengetahuan yang tersimpan dalam struktur kognitif mareka. Sehingga mereka mampu melakukan investigasi, membuat model matematika, lalu mendapatkan keputusan.

Pemecahan masalah 2 di atas menggunakan konsep-konsep pada bilangan dengan opeasi penjumlahan,  pembagian, perkalian, dan aljabar dalam bentuk model matematika dengan persamaan matematika terbuka. Karena masalah 2 di atas adalah masalah dengan solusi banyak (open ended) maka  penyelesaian yang mungkin tergantung pada kemampuan intelektual dan pengalaman peserta didik. Kemapuan komunikasi matematis dan kreatif yang  produktif dalam mengambil keputusan tentu sangat diperlukan dalam problem solving. Problem solving melalui pendekatan open ended  sangat diperlukan  sebagai upaya untuk mengembangkan kemampuan intelektual peserta didik dalam pembelajaran matematika.  Pendekatan open ended akan merangsang peserta didik untuk berlatih secara individu dalam rangka mengembangkan kompetensi tanpa ikut-ikutan dengan jawaban temannya.

  1. Penutup

Metode pembelajaran, dengan menghafal dan membaca fakta, peraturan, dan prosedur, dengan penekanan pada penerapan prosedur yang dilatih untuk menyelesaikan masalah rutin (biasa) adalah kurang memadai. Pembelajaran dengan pendekatan problem solving terjadi ketika proses kegiatan pemecahan masalah dilakukan peserta didik berlangsung. Artinya proses pembelajaran berlangsung selama proses pemecahan masalah berjalan, dimana peserta didik bebas menggunakan pendekatan sesuai dengan pikirkan masing-masing, dengan memanfaatkan pengetahuan yang telah mereka pelajari, dan membenarkan gagasan mereka sesuai apa yang diyakini. Lingkungan pembelajaran melalui pendekatan problem solving memberikan kesempatan bagi peserta didik menyajikan berbagai solusi, berbagi kepada kelompok atau kelas dan belajar matematika melalui interaksi sosial, bernegosiasi, untuk mencapai pemahaman bersama. Kegiatan seperti itu membantu peserta didik melakukan klarifikasi gagasan dan mendapatkan perspektif konsep belajar yang berbeda.

Pendekatan pemecahan masalah (problem solving) dapat berkontribusi secara signifikan terhadap pendidikan matematika tidak hanya sebagai sebuah metode atau jalan

untuk mengembangkan pemikiran logis, akan tetapi problem solving juga dapat : (1) memberi konteks pengetahuan matematika bagi peserta didik, (2) meningkatkan proses transfer keterampilan pada situasi yang tidak rutin, (3) merupakam bentuk estetika dalam diri peserta didik. dan (4) memberi tempat (ruang) kepada peserta didik untuk membuat gagasan sendiri tentang matematika dan untuk bertanggung jawab atas pembelajaran mereka sendiri.

Pendekatan problem solving merupkan tantangan bagi para guru, pada semua jenjang sebagai upaya untuk mengembangkan proses pemikiran matematis dan pengetahuan matematika peserta didik. Guru dituntut untuk menggunakan problem solving dengan  menyajikan masalah matematika tidak rutin dalam konteks pemecahan masalah. Diharapkan penyajian masalah mengacu pada bentuk open ended. Berikut ini adalah jenis-jenis masalah yang dihadapi peserta didik dan memerlukan problem solving dalam menyeleseaikannya.

  • Masalah kata, dimana konsepnya tertanam dalam situasi dunia nyata dan siswa diharuskan untuk mengenali dan menerapkan algoritma / aturan yang sesuai. (mempersiapkan peserta didik menghadapi tantangan hidup)
  • Masalah non rutin yang memerlukan tingkat interpretasi dan pengorganisasian informasi yang lebih tinggi dalam masalah, bukan hanya pengenalan dan penerapan algoritma (mendorong pengembangan pengetahuan umum dan akal sehat)
  • Masalah “nyata”, berkaitan dengan menyelidiki masalah yang nyata bagi siswa, tidak harus memiliki solusi tetap, dan menggunakan matematika sebagai alat untuk menemukan solusi (melibatkan murid dalam pelayanan kepada masyarakat).

REFERENSI

Edy Surya, (2011). Visual Thinking and Mathematical Problem Solving of the Nation Character Development, Department of Mathematics Education, Yogyakarta State University Yogyakarta, July 21‐23,2011.

National Council of Teachers of Mathematics (NCTM) (1980). An Agenda for Action: Recommendations for School Mathematics of the 1980s, Reston, Virginia: NCTM.

Polya, G. (1980). ‘On solving mathematical problems in high school’. In S. Krulik (Ed). Problem Solving in School Mathematics, (pp.1-2). Reston, Virginia: NCTM.

Schoenfeld, A. (1994). Reflections on doing and teaching mathematics. In A. Schoenfeld (Ed.). Mathematical Thinking and Problem Solving. (pp. 53-69). Hillsdale, NJ: Lawrence Erlbaum Associates.

Schunk, D. H. 2012. Learning Theories an Educational Perspective sixth edition. Diterjemahkan oleh : Eva Hamdiah dan Rahmat Fajar. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Stanic, G. and Kilpatrick, J. (1989). ‘Historical perspectives on problem solving in the mathematics curriculum’. In R.I. Charles and E.A. Silver (Eds), The Teaching and Assessing of Mathematical Problem Solving, (pp.1-22). USA: National Council of Teachers of Mathematics. 

Dipublikasi di Diskusi, Matematikakuyess, Tak Berkategori | Meninggalkan komentar

Kemandirian Belajar Siswa (Salamia)

  1. Pengertian Kemandirian Belajar (Self-Regulated Learning)

Dalam (http://kbbi.web.id/ajar) pengertian belajar adalah berusaha memperoleh kepandaian atau ilmu, dan dalam pengertian lain belajar adalah berubah tingkah laku atau tanggapan yang disebabkan oleh pengalaman. Menurut Slameto (2003: 2) belajar ialah suatu proses usaha yang dilakukan seseorang untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku yang baru secara keseluruhan, sebagai hasil pengalamannya sendiri dalam interaksi dengan lingkungannya. Pendapat lain dikemukakan oleh  Sardiman (2007: 20) bahwa belajar pada hakekatnya adalah kegiatan yang dilakukan secara sadar oleh seseorang yang menghasilkan perubahan tingkah laku pada dirinya sendiri, baik dalam bentuk pengetahuan dan keterampilan baru, dalam bentuk sikap dan nilai yang positif. Sedangkan menurut Sudjana (2007: 45) belajar adalah perubahan yang relatif permanen dalam suatu kecenderungan tingkah laku sebagai hasil dari praktek dan latihan.

Dalam (http://kbbi.web.id/mandiri) mandiri adalah dalam keadaan dapat berdiri sendiri; tidak bergantung pada orang lain, sedangkan kemandirian adalah  keadaan dapat berdiri sendiri tanpa bergantung pada orang lain. Menurut Eddy Wibowo (1992:69). Kemandirian diartikan sebagai tingkat perkembangan seseorang dimana ia mampu berdiri sendiri dan mengandalkan kelampuan dirinya sendiri dalam melakukan berbagai kegiatan dan menyelesaiakan berbagai masalah yang dihadapi.

Ada beberapa pengertian tentang kemandirian belajar yang dikemukakan oleh para ahli, antara lain:

  1. Hargies (2000) mendefinisikan keamdirian belajar sebagai kemampuan memantau perilaku sendiri, dan merupakan kerja-keras personaliti manusia,
  2. Abu Ahmadi dan Nur Uhbiyati (2003:13) mengemukakan bahwa kemandirian  belajar  adalah  belajar mandiri, tidak menggantungkan diri kepada orang lain, siswa dituntut untuk memiliki keaktifan dan inisiatif sendiri dalam belajar, bersikap, berbangsa maupun bernegara.
  3. Steinberg  (dalam Aspin  (2007:12)   juga   menyatakan   bahwa   siswa   yang memperoleh kemandirian merupakan siswa yang dapat memiliki kemampuan untuk mengatur diri sendiri secara bertanggung jawab, meskipun tidak ada pengawasan dari orang tua maupun guru dalam aktifitas belajar demi mendapatkan nilai dan prestasi yang memuaskan bagi diri dan orang tua.
  4. Desi Susilawati (2009:7-8) mendiskripsikan bahwa kemandirian belajar dapat diartikan sebagai berikut: (1) Siswa berusaha untuk meningkatkan tanggung jawab dalam mengambil berbagai keputusan, (2) Kemandirian dipandang sebagai suatu sifat yang sudah ada pada setiap orang dan situasi pembelajara,  (3) Kemandirian bukan berarti memisahkan diri dari orang lain, (4) Pembelajaran mandiri dapat mentransfer hasil belajarnya yang berupa pengetahuan dan keterampilan dalam berbagai situasi, (5) Siswa yang belajar mandiri dapat melibatkan berbagai sumber daya dan aktivitas seperti membaca sendiri, belajar kelompok, latihan dan kegiatan korespondensi, (6) Peran efektif guru dalam belajar mandiri masih dimungkinkan seperti berdialog dengan siswa, mencari sumber, mengevaluasi hasil dan mengembangkan berfikir kritis, dan (7) Beberapa institusi pendidikan menemukan cara untuk mengembangkan belajar mandiri melalui program pembelajaran terbuka.

Berdasarkan uraian di atas, dapat dikemukakan bahwa kemandirian adalah kemampuan seseorang dalam menujudkan keinginannya tanpa bergantung kepada orang lain. Kemandirian belajar atau belajar mandiri adalah sikap mengarah pada kesadaran belajar sendiri dan segala keputusan, pertimbangan yang berhubungan dengan kegiatan belajar diusahakan sendiri sehingga bertanggung jawab sepenuhnya dalam proses belajar tersebut. Belajar mandiri adalah kondisi aktifitas belajar yang mandiri tidak tergantung pada orang lain, memiliki kemauan serta bertanggung jawab sendiri dalam menyelesaikan masalah belajarnya. Belajar mandiri adalah proses menggerakkan kekuatan dari dalam diri seorang individu untuk mempelajari suatu objek tanpa adanya pengaruh dari luar. Kemandirian belajar akan terwujud apabila siswa aktif mengontrol sendiri segala sesuatu yang dikerjakan, mengevaluasi dan selanjutnya merencanakan sesuatu yang lebih dalam pembelajaran yang dilalui dan siswa juga mau aktif dalam proses pembelajaran.  Kemandirian belajar dapat dianggap sebagai cara belajar yang berdasarkan pada aktivitas diri bukan aktivitas yang dikendalikan.

Schunk dan Zimmerman (1998), merinci kegiatan yang berlangsung pada tiap phase kemandirian be[alajr sebagai berikut:

  1. Phase merancang belajar berlangsung kegiatan: menganalisis tugas belajar, menetapkan tujuan belajar, dan merancang strategi belajar.
  2. Phase memantau berlangsung kegiatan mengajukan pertanyaan pada diri sendiri:
    • Apakah strategi yang dilaksanakan sesuai dengan rencana?
    • Apakah saya kembali kepada kebiasaan lama?
    • Apakah saya tetap memusatkan diri? dan
    • Apakah strategi telah berjalan dengan baik?
  3. Phase mengevaluasi, memuat kegiatan memeriksa bagaimana jalannya strategi:
    • Apakah strategi telah dilaksanakan dengan baik? (evaluasi proses);
    • Hasil belajar apa yang telah dicapai? (evaluasi produk); dan
    • Sesuaikah strategi dengan jenis tugas belajar yang dihadapi?
  4. Phase merefleksi: Pada dasarnya phase ini tidak hanya berlangsung pada phase keempat dalam siklus kemandirian belajar (self regulated learning), namun refleksi berlangsung pada tiap phase selama silkus berjalan.
  1. Ciri-ciri Kemandirian Belajar

Ciri-ciri kemandirian pada dasarnya sangatlah luas dan tingkat kemandiriannya juga sangat beragam sesuai dengan tingkat usia.

Menurut  Hiemstra (1991), ada beberapa ciri – ciri dari kemandirian belajar. Ciri – ciri tersebut adalah:

  1. Pelajar mempunyai tanggung jawab dalam pengambilan keputusan yang berhubungan dengan usaha pembelajaran,
  2. Belajar mandiri merupakan karakteristik yang dapat digunakan setiap individu dalam setiap situasi,
  3. Belajar mandiri bukan mengisolasi diri individu dengan orang lain d. Individu yang mempunyai kemandirian belajar mampu untuk “transfer learning”, baik pengetahuan maupun keahlian (skill) dari satu situasi ke situasi yang lain seperti berpartisipasi dalam grup, latihan – latihan, dialog secara elektronik, dan aktifitas – aktifitas menulis,
  4. Peran efektif dari  guru  di  dalam belajar mandiri terjadi, seperti melakukan dialog  dengan pelajar,  melihat sumber pengetahuan yang aman, berpikir secara kritis, dan mengevaluasi hasil yang ada.
  5. Beberapa institusi pendidikan menemukan cara yang dapat mendukung kemandirian belajar seperti program pendidikan terbuka, pemilihan pendidikan bagi individu, dan program inovasi lainnya.

Pao-Chou dan Wei-Fan Chen (http://www.setlab.net/?view=chou-article) mengemukakan bahwa karakter siswa yang memiliki kemandirian belajar adalah:

  1. Self-directed learners are fully responsible people who can independently analyze, plan, execute, and evaluate their own learning activities,
  2. Self-management. Self-directed learners can identify what they need during the learning process, set individualized learning goals, control their own time and effort for learning, and arrange feedbacks for their work,
  3. Desire for learning. For the purpose of knowledge acquisition, self-directed learners’ motivations for learning are extremely strong,
  4. Problem-solving. In order to achieve the best learning outcomes, self-directed learners make use of existing learning resources and feasible learning strategies to overcome the difficulties which occur in the learning process.

Terjemahan secara bebas dapat diartikan sebagai berikut:

  1. Siswa yang memiliki kemandirian belajar bertanggungjawab penuh serta   dapat   menganalisis,   merencanakan,  melaksanakan  dan mengevaluasi kegiatan belajarnya sendiri secara bebas,
  2. Managemen diri. Siswa yang memiliki kemandirian belajar dapat mengidentifikasi apa yang merek butuhkan selama proses belajar, menetapkan tujuan pembelajaran sendiri, mengontrol mereka sendiri dan berusaha untuk belajar dengan tekun, serta mengelola umpan balik atas apa yang telah mereka usahakan.
  3. Keinginan untuk belajar. Siswa yang memiliki kemandirian belajar memiliki motivasi yang kuat untuk mengarahkan diri sendiri untuk belajar,
  4. Memecahkan masalah. Untuk mencapai hasil pembelajaran yang baik, siswa dapat mengarahkan diri dalam memanfaatkan sumber belajar yang ada dan menggunakan strategi belajar untuk mengatasi kesulitan-kesulitan yang terjadi dalam proses belajar.

Danuri (2010: 15) mengemukakan bahwa ada beberapa ciri-ciri kemandirian belajar yaitu: (1) Adanya tendensi untuk berperilaku bebas dan berinisiatif, bersikap, dan berpendapat, (2) Adanya tendensi untuk percaya diri, (3) Adanya sifat original (keaslian) dan bukan sekedar meniru orang lain,  dan (4) Adanya tendensi untuk mencoba diri. Sejalan dengan pendapat tersebut, Negoro (2008: 17) mengemukakan bahwa ciri-ciri kemandirian belajar adalah sebagai berikut : (1) Memiliki kebebasan untuk berinisiatif, (2) Memiliki rasa percaya diri, (3) Mampu mengambil keputusan, (4) Dapat bertanggung jawab, dan (5) Mampu menyesuaikan diri dengan lingkungan.

Sardiman (2008:45) mengemukakan bahwa ciri-ciri kemandirian belajar adalah: (1) adanya kecenderungan untuk berpendapat, berperilaku dan bertindak atas kehendaknya sendiri, (2) memiliki keinginan yang kuat untuk mencapai tujuan, (3) Membuat perencanaan dan berusaha dengan ulet dan tekun untuk mewujudkan harapan, (4) mampu untuk berfikir dan bertindak secara kreatif, penuh    inisiatif dan tidak sekedar meniru, (5) memiliki kecenderungan untuk mencapai kemajuan, yaitu untuk meningkatkan prestasi belajar,  dan (6) mampu menemukan sendiri tentang sesuatu yang harus dilakukan tanpa mengharapkan bimbingan dan tanpa pengarahan orang lain.

Selanjutnya Desmita (2011: 185-188) mengatakan bahwa kemandirian belajar dapat dilihat dari beberapa ciri sebagai berikut: (1) mampu mengambil keputusan dan inisiatif untuk mengatasi masalah yang dihadapi, (2) memiliki hasrat bersaing untuk maju demi kebaikan dirinya sendiri, (3) bertanggungjawab atas apa yang dilakukan, (4) mampu melakukan kritik dan penilaian diri, dan  (5) memiliki kepercayaan diri dan melaksanakan tugas-tugasnya.

Berdasarkan uraian tentang ciri-ciri kemandirian belajar di atas, maka dapat dikemukakan bahwa kemandirian belajar dapat diwujudkan dalam bentuk antara lain: Memiliki rasa tanggung jawab terhadap diri sendiri, memiliki inisiatif, memiliki percaya diri, dapat mengambil keputusan, mempunyai kontrol diri yang kuat, mampu melakukan kritik dan penilaian diri, mampu menyesuaikan diri dengan lingkunngan, memiliki hasrat untuk bersaing, memiliki motivasi untuk belajar, mampu memecahkan masalah, dan kebebasan bertindak dan bersikap sesuai dengan nilai yang diajarkan.

  1. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kemandirian Belajar.

Beberapa pendapat tentang factor-faktor yang mempengaruhi kemandirian antara lain adalah sebagai berikut:

  1. Ngalim Purwanto  (2006: 102)  mengemukakan  bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi hasil belajar yaitu faktor individual dan faktor sosial. Faktor individual adalah faktor yang ada dalam diri individu. Faktor sosial adalah faktor yang ada di luar individu.
  2. Muhammad Nur Syam (dalam Endang Lestari, 2015), ada dua faktor yang mempengaruhi, kemandirian belajar yaitu sebagai berikut:
    1. Faktor internal dengan indikator tumbuhnya kemandirian belajar yang terpancar dalam fenomena antara lain: (i) sikap bertanggung jawab untuk melaksanakan apa yang dipercayakan dan ditugaskan, (ii), kesadaran hak dan kewajiban siswa disiplin moral yaitu budi pekerti yang menjadi tingkah laku, (iii) kedewasaan diri mulai konsep diri, motivasi sampai berkembangnya pikiran, karsa, cipta dan karya (secara berangsur), (iii) kesadaran mengembangkan kesehatan dan kekuatan jasmani, rohani dengan makanan yang sehat, kebersihan dan olahraga, dan (iv)  disiplin diri dengan mematuhi tata tertib yang berlaku, sadar hak dan kewajiban, keselamatan lalu lintas, menghormati orang lain, dan melaksanakan kewajiban.
    2. Faktor eksternal sebagai pendorong kedewasaan dan kemandirian belajar meliputi: (i) potensi jasmani rohani yaitu tubuh yang sehat dan kuat, (ii) lingkungan hidup, dan sumber daya alam, (iii) sosial ekonomi, keamanan dan ketertiban yang mandiri, (iv) kondisi dan suasana keharmonisan dalam dinamika positif atau negatif sebagai peluang dan tantangan meliputi tatanan budaya dan sebagainya secara komulatif.
  3. Menurut Hasan Basri (1994:54) yaitu: kemandirian belajar siswa dipengaruhi dua faktor yaitu faktor di dalam dirinya sendiri (faktor endogen) dan faktor-faktor di luar dirinya sendiri (faktor eksogen). Faktor endogen (internal) adalah semua pengaruh yang bersumber dari dalam dirinya sendiri, seperti keadaan keturunan dan konstitusi tubuhnya sejak dilahirkan dengan segala perlengkapan yang melekat padanya. Segala sesuatu yang dibawa sejak lahir adalah merupakan bekal dasar bagi pertumbuhan dan perkembangan individu selanjutnya. Bermacam-macam sifat dasar dari ayah dan ibu mungkin akan didapatkan didalam diri seseorang, seperti bakat, potensi intelektual dan potensi pertumbuhan tubuhnya. Faktor eksogen (eksternal) adalah semua keadaan atau pengaruh yang berasal dari luar dirinya, sering pula dinamakan dengan faktor lingkungan. Lingkungan kehidupan yang dihadapi individu sangat mempengaruhi perkembangan kepribadian seseorang, baik dalam segi negatif maupun positif. Lingkungan keluarga dan masyarakat yang baik terutama dalam bidang nilai dan kebiasaan-kebiasaan hidup akan membentuk kepribadian, termasuk pula dalam hal kemandiriannya.
  4. Chabib Thoha (1996:124-125), faktor-faktor yang mempengaruhi kemandirian dapat dibedakan dari dua arah, yakni :
  1. Faktor dari dalam diri anak adalah antara lain faktor kematangan usia, jenis kelamin dan inteligensi anak.
  2. Faktor dari luar yang mempengaruhi kemandirian anak adalah:
    1. Kebudayaan, masyarakat yang maju dan kompleks tuntutan hidupnya cenderung mendorong tumbuhnya kemandirian dibanding dengan masyarakat yang sederhana,
    2. Keluarga, meliputi aktivitas pendidikan dalam keluarga, kecenderungan cara mendidik anak, cara memberikan penilaian kepada anak, dan cara hidup orang tua.
  1. Muhammad Ali dan Muhammad Asrori (2002: 118-119) mengemukakan sejumlah faktor yang mempengaruhi perkembangan kemandirian, yaitu : (i) gen atau keturunan orang tua, (ii) pola asuh orang tua., (iii) sistem pendidikan di sekolah dan (iv) sistem kehidupan di masyarakat.

Berdasarkan uraian di atas, maka dapat dikemukakan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi kemandirian belajar ada dua yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal dapat diwujudkan dalam bentuk antara lain: bertanggung jawab, kesadaran hak dan kewajiban, kedewasaan diri, kesadaran tentang kesehatan, disiplin diri, kematangan usia, integensi, jenis kelamin, dan lain-lain. Faktor eksternal dapat diwujutkan dalam bentuk antara lain: kesehatan, lingkungan hidup, sumber daya alam, sosial ekonomi, keamanan, ketertiban yang mandiri, keluarga, sestem pendidika di sekolah, system social di masyarakat, dan lain-lain.

4. Variabel dan Indikator

Berdasarkan ciri-ciri kemandirian belajar dan faktor-faktor yang mempengaruhi kemandirian belajar yang telah diuraikan di atas, maka variabel –variabel dalam tulisan ini adalah: (i) faktor-faktor yang mempengaruhi kemandirian belajar terdiri dari faktor internal dan faktor eksternal dan (ii) kemandirian belajar. Indikator dari masing-masing variabel adalah sebagai berikut:

         a) Indikator kemandirian belajar terdiri dari lima aspek yaitu:

  1. Mampu memecahkan masalah,
  2. Memiliki Inisiatif,
  3. Memilik Tanggung jawab,
  4. Memilik Motivasi,
  5. Memiliki Percaya diri.

b) Indikator faktor internal dalam tukisan ini terdiri dari empat aspek yaitu:

  1. Sikap bertanggung jawab,
  2. Kesadaran hak dan kewajiban
  3. Kedewasaan diri
  4. Disiplin diri

c) Indikator faktor eksternal dalam tulisan ini terdiri dari tiga aspek yaitu:

  1. Kesehatan,
  2. Lingkungan hidup,
  3. Sosial ekonomi.

Ciri- ciri kemandirian belajar adalah variabel laten endogen dengan kode Y dan indicator dengan kode Y1, Y2, Y3, Y4 dan Y5. Faktor-faktor yang mempengaruhi kemandirian belajar adalah variabel laten eksogen dengan kode X1 dan X2 selanjutnya indikator dari variabel  X1 dengan kode X11, X12, X13, dan X14 dan indikator dari variabel X2 dengan kode X21, X22, dan X23. Rangkumannya dapat dilihat tabel di bawah ini.

Tabel 1.2  Variabel Laten dan Indikator

Variabel Laten

Kode

Indikator

Eksogen Faktor Internal (X1)

X11

X12

X13

X14

Sikap bertanggung jawab

Kesadaran hak dan kewajiban

Kedewasaan diri

Disiplin diri

Faktor  Eksternal (X2)

X21

X22

X23

Kesehatan

Lingkungan hidup

Sosial ekonomi

Endogen Kemandirian Belajar Siswa (Y)

Y1

Y2

Y3

Y4

Y5

Mampu memecahkan masalah,

Memiliki Inisiatif,

Memilik Tanggung jawab,

Memilik Motivasi

Memiliki Percaya diri

Dipublikasi di Tak Berkategori | 2 Komentar

TUGAS MAHASISWA SEMESTER VI

Download Tugas Penilaian Pembelajaran Matematika Klik DI SINI

Dipublikasi di Tak Berkategori | Tag , | Meninggalkan komentar

TUGAS MAHASISWA MATA KULIAH ALJABR

Download tugas klik dibawah:

TUGAS MAHASISWA MATA KULIAH ALJABAR

Dipublikasi di Tak Berkategori | Meninggalkan komentar

LAPORAN PTK (Makalah)

PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE  THINK  PAIR  SQUARE  SHARE DALAM MENINGKATKAN  KEMAMPUAN KOMUNIKASI MATEMATIS DAN HASIL BELAJAR MATEMATIKA

Salamia, M.Si

MTs.Negeri 1 Balikpapan, Jln Jend.Ahmad Yani RT 61 No.19 Balikpapan, Kota Balikpapan

salamia4479@gmail.com

Abstrak. Penelitian tindakan kelas ini menerapkan model pembelajaran kooperatif  tipe Think Pair Square Share (TPSS) bertujuan untuk meningkatkan kemampuan komunikasi matematis dan hasil belajar matematika yang dilakukan di kelas IX-3 MTs. Negeri 1 Balikpapan semester 1 (gasal) tahun pelajaran 2015/2016. Penelitian terlaksana dalam dua siklus dan terdiri dari enam kali pertemuan. Aktivitas komunikasi matematis siswa diamati pada tahap think, tahap pair, tahap square dan tahap share. Instrumen penelitian adalah lembar observasi, angket, tes dan dokumentasi. Hasil analisis data sebagai berikut: (a) rata-rata persentase data angket aktivitas komunikasi matematis siswa pada siklus I adalah 66.8%  meningkat menjadi 73,5% pada siklus II, (b) rata-rata persentase data angket respon siswa terhadap penggunaan model pembelajaran kooperatif tipe TPSS pada siklus I adalah 64,6% meningkat menjadi 74,7% pada siklus II, (c)  nilai rata-rata hasil tes kemampuan komunikasi matematis siswa pada siklus I adalah 64.89  meningkat menjadi 84.44 pada siklus II, dan (c) nilai rata-rata hasil belajar adalah 64.64 pada siklus I meningkat menjadi 82.7 pada siklus II. (2). Kesimpulannya adalah kemampuan komunikasi matematis siswa kelas IX-3 dapat ditingkatkan melalui model pembelajaran kooperatif tipe TPSS. Hasil penelitian ini menyarankan bahwa model pembelajaran kooperatif  tipe TPSS adalah salah satu altematif model pembelajaran matematika di kelas.

Kata Kunci. Think Pair Square SShare, komunikasi matematis, hasil belajar.

Makalah ini  telah diseminarkan padaa Seminar Nasional Pendidikan Matematika  (Sendimat III) di P4TK Matematika Yogyakarta tanggal 11-12 November 2015.

Dipublikasi di LAPORAN PTK, Tak Berkategori | 4 Komentar

TESTIMONI MENGIKUTI DOGMIT INDONESIA

Sering sekali kita membaca di berbagai media, buku baik online maupun offline penjelasan tentang fungsi, peran, dan kedudukan guru dalam pendidikan. Dari beberapa penjelasan selalu disebutkan bahwa guru adalah salah satu penentu keberhasilan dalam mewujudkan visi pendidikan yang telah dicanangkan oleh pemerintah yaitu menciptakan insan Indonesia yang cerdas dan kompetitif. Sebagai konsekuensi dari peranan yang sangat besar ini menjadi tuntutan bagi semua guru di Indonesia untuk selalu menambah dan memperbarui wawasan dan kompetensinya secara terus menerus.

Peningkatan kompetensi ini sangatlah diperlukan agar semua guru di Indonesia menjadi guru yang profesional sehingga mampu mengikuti perubahan serta perkembangan zaman. Jabatan guru sebagai profesi tentunya memerlukan pembinaan dan pengembangan secara berkelanjutan. Program Pengembangan Keprofesian Berkelanjutan (PKB) dari pemerintah diharapkan menjadi salah satu sistem yang dinilai akan dapat membantu mewujudkan terbentuknya guru-guru profesional. Program PKB termasuk di dalamnya adalah Diklat Fungsional baik secara langsung (tatap muka) maupun Diklat Online.

Behubungan dengan pengembangan profesi guru melalui diklat, selama ini pelaksanaannya dilakukan oleh beberapa lembaga yang telah ditunjuk dan diakui. Namun, jika ditinjau dari jumlah guru yang harus mengikuti diklat maka akan terlihat bahwa kemampuan lembaga yang ditunjuk sangat terbatas mengingat jumlah guru di Indonesia cukup banyak. Kondisi ini mengharuskan guru untuk mengambil terobosan dalam rangka peningkatan kompetensinya dengan mengikuti diklat online, salah satu penyelenggara diklat online adalah Diklat Online Guru Melek IT (DOGMIT) Indonesia. DOGMIT Indonesia dapat diakses di: https://e-traininggurumelekit.edu20.org/ yang dibimbing oleh Bapak Sukani. Bapak Sukani adalah salah seorang Trainer Diklat Online hebat di Indonesia.

Saya telah mengikuti DOGMIT sebanyak 3 angkatan yaitu angkatan 24 tahun 2015 pola 81 jam, angkatan 30 tahun 2015 pola 60 jam dan angkatan 3 tahun 2016 (masih berlangsung). pola 60 jam. Banyak teman-teman guru yang telah mengikuti DOGMIT ini 5-8 angkatan sehingga jika dibandingkan dengan teman-teman guru hebat di seluruh Indonesia, maka saya jauh ketinggalan. Kemampuan IT saya yang sangat minim telah  memotvasi saya ikut bergabung di DOGMIT. Bimbingan bapak Sukani melalui modul dan video tutorial yang telah disiapkan adalah metode pembelajaran yang luar biasa buat saya. Menyimak tutorial melalui video sambil praktek sangat menyenangkan dan mendorong rasa ingin yang tinggi, Jika ada permasahan maka pembelajaran dilakukan melalui diskusi dengan teman-teman. Akhirnya perlahan-lahan banyak pengetahuan baru yang saya peroleh. Software-software seperti Snipping Tool,  Audacity, Cyko, Emage Tuner, Sparkol, SnagIT adalah istilah IT yang asing bagi saya sebelumnya. Demikan pula seperti cara menyimpan file di penyimpanan online (Google Drive), cara membuat tes online, cara membuat blog sampai mengelola blog, cara publikasi ilmiah di kompasiana, publikasi video di youtube dan masih banyak lagi yang lain. Pengetahuan IT tersebut sangat membantu dalam tugas rutin saya. Akhirnya pengetahuan tersebut akan berimbas ke teman-teman dan juga peserta didik dalam proses pembelajaran di kelas.

Membagi pengetahuan IT dengan teman-teman, di sekolah atau siapa saja yang memerlukan adalah hasil yang luar biasa menyenangkan dan menambah rasa percaya diri menjadi lebih tinggi bagi saya. Pengetahuan  IT banyak saya dapatkan di DOGMIT Indonesia, oleh karena itu buat semua guru di Indonesia mari mengembangkan kompetensi IT melalui DOGMIT Indonesia di: https://e-traininggurumelekit.edu20.org/. Perkembangan IT sangat cepat di setiap zaman, maka berusahalah agar tidak ditinggalkan oleh zaman.

Untuk menjalankan fungsi, peran dan kedudukan guru dalam pendidikan maka tidak ada jalan lain kecuali belajar secara berkelanjutan dalam rangka untuk meningkatkan kompetensi. Guru yang belajar secara berkelanjutan akan mencapai predikat guru profesional. Guru profesional mampu menciptakan insan Indonesia yang cerdas dan kompetitif. Insan yang cerdas dan kompetitif akan membawa bangsa Indonesia menjadi bangsa yang maju, bermartabat dan disegani.

Dipublikasi di Diklat Online Guru Melek IT, Kompetensi Guru, Matematikakuyess, Motivasi, Testimoni Ikut Dogmit | Meninggalkan komentar

ALBUM FOTO SISWA

Galeri ini berisi 49 foto.

Galeri Lainnya | Meninggalkan komentar

PERTANYAAN EFEKTIF DALAM PEMBELAJARAN MATEMATIKA

Salamia, M.Si

MTs.Negeri 1 Balikpapan, Jln Jend.Ahmad Yani RT 61 No.19 Balikpapan, Kota Balikpapa

salamia4479@gmail.com

Abstrak. Makalah ini membahas tentang pertanyaan efektif dalam pembelajaran matematika. Pertanyaan efektif dalam pembelajaran matematika adalah pertanyaan yang dapat merangsang siswa berpikir matematis (berpikir logis, kreatif, kritis, inovatif dan sistimatis, realistis, tepat, cermat), dimana siswa tidak hanya sekedar menghafal, menyebutkan definisi, menghafal rumus-rumus matematika, dan mengerjakan soal-soal sama dengan contoh yang diberikan, akan tetapi siswa dihadapkan pada pertanyaan yang menuntut siswa berpikir matematis  yang pada akhirnya siswa memahami konsep-konsep matematika yang dipelajari. Mengajukan pertanyaan dalam sesi pembelajaran disesuaikan dengan tujuan yang akan dicapai. Hasil kajian menemukan kesimpulan bahwa salah satu cara untuk meningkatkan kemampuan berpikir matematis (logis, kreatif, kritis, inovatif dan sistimatis) siswa adalah melalui pertanyaan efektif, baik pertanyaan efektif dalam bentuk lisan maupun pertanyaan efektif dalam bentuk tertulis. 

Kata kunci. Pertanyaan efektif, berpikir matematis

BACA LEBIH LANJUT KLIK DI BAWAH.

MIA-MAKALAH UNTUK MGMP

Dipublikasi di Tak Berkategori | Meninggalkan komentar

PENINGKATAN KOMPETENSI GURU MELALUI DIKLAT ONLINE GURU MELEI IT (DOGMIT)

Untuk mewujudkan pendidikan yang berkualitas diperlukan tenaga pendidik (guru) yang profesional. Oleh karena itu selayaknya guru harus memiliki kompetensi yang memadai baik kompetensi pedagogik, kompetensi profesional, kompetensi sosial maupun kompetensi kepribadian dalam menjalankan tugas. Kompetensi ini diharapkan dapat berjalan seiring dengan perkembangan jaman secara berkelanjutan. Integrasi keempat kompetensi ini tercermin dalam kinerja guru yang berkualitas. Kinerja guru yang berkualitas menunjukkan guru profesional. Agar dapat menjadi guru profesional maka guru harus selalu berusaha untuk melakukan pengembangan diri.

Upaya untuk menfasilitasi dan meningkatkan kompetensi guru telah banyak dilakukan oleh pemerintah dalam bentuk Pendidikan dan Latihan (Diklat) yang dilakukan dengan tatap muka secara langsung. Upaya ini mengalami kendala sehingga tidak semua guru di Indonesia dapat diikutkan dalam beberapa Diklat secara langsung. Kendala yang ada misalnya adalah letak geografis, besarnya jumlah guru, biaya, waktu dan kesempatan. Di sisi lain guru harus meninggalkan tugas ketika melakukan kegiatan Diklat. Kendala tersebut mengakibatkan guru yang menjadi sasaran Diklat menjadi tidak merata. Oleh karena itu diperlukan adanya inovasi system Diklat yang tetap menjaga kualitas kesempatan bagi lebih banyak guru mengikuti Diklat. Sistem Diklat yang dimaksud adalah Diklat Onlline (DOL) termasuk di dalamnya adalah E-Training Guru Melek IT (DOGMIT) Indonesia.

E-Taining Guru Melek IT (DOGMIT) yang dipandu oleh bapak Sukani dengan alamat: https//trainergurumelekit.wordpress.com, telah banyak berkontribusi dalam rangka mendukung pengembangan diri guru di Indonesia. DOGMIT memberikan peluang kepada seluruh guru di Indonesia dengan berbagai macam latar belakang pendidikan yang diampu di sekolah. Salah satu dampak yang dihasilkan oleh DOGMIT adalah  meningkatnya kompetensi profesional guru secara berkelanjutan beriringan dengan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (melek IT) serta menghasilkan berbagai macam inovasi pembelajaran di kelas. Dengan demikian maka DOGMIT merupakan terobosan luar biasa untuk membatu pengembangan kompetensi guru dalam rangka mewujudkan guru yang profesional dan berkualitas serta menjadi salah satu pilihan yang dapat mendukung Pengembangan Keprofesian Berkelanjutan bagi guru di Indonesia.

Bahan ajar “Mengirim Formulir Siswa” dan “Membuat Tes Online” adalah salah satu peningkatan kompetensi yang kami peroleh dalam DOGMIT angkatan 24. Kompetensi ini telah kami terapkan dalam pembelajaran di kelas. Karena penerapan kedua  bahan ajar ini adalah hal baru bagi maka siswa memberikan apresiasi yang cukup baik. Meskipun masih terkendala dengan keterbatasan fasilitas yang dimiliki siswa akan tetapi terobosan ini telah memperkenalkan perkembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi  kepada siswa.

Dipublikasi di Tak Berkategori | Meninggalkan komentar

Motivasi Mengikuti DOGMIT

Guru adalah bagian yang sangat penting dalam dunia pendidikan, dengan kata lain guru adalah tumpuan harapan keberhasilan pendidika. Oleh karena itu, guru dituntut untuk memiliki kompetensi yang memadai dalam menjalankan tugas-tugas yang diemban. Komptensi adalah seperankat ilmu  pengetahuan serta keterampilan mengajar seorang guru di dalam menjalankan tugas profesionalnya. Ada empat kompetensi yang harus dimiliki oleh seorang guru. Kompetensi itu adalah: kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi profesional dan kompetensi sosial. Dengan memilik empat kompetensi ini, maka guru akan profesional dalam menjalankan tugas, yang pada akhirnya tujuan pendidikan akan tercapai dengan baik sesuai dengan harapan masyarakat.

Berdasarkan paparan di atas maka saya sebagai seorang guru merasa memiliki kompetensi yang masih sangat rendah. Pengembangan diri harus saya lakukan. Salah satunnya adalah mengikuti DOGMIT angkatan 24 ini. Tujuan saya adalah untuk mengembangkan kompetensi yang sudah ada sebelumnya. dan berusaha memiliki  kompetensi seiring dengan perkembangan IT yang super-super cepat saat sekarang ini. Karena kewajiban menjalankan tugas di sekolah susah untuk ditinggalkan maka DOGMIT seperti ini sangat2 membantu dalam hal pengembangan diri.

Keinginan untuk mengembangkan kompetensi selalu terpatri dalam semangat, kesabaran dan keikhlasan. Di sela – sela waktu yang tidak begitu banyak, dimanfaatkan untuk mengikuti DOGMIT ini. Penuh dengan harapan bawa selesai mengikuti DOGMIT akan ada pencerahan baru yaitu sebuah kompetensi yang pada akhirnya akan bermanfaat dalam menjalankan tugas dan kewajiban sebagau guru dan menjadi guru profesional,

Dipublikasi di Diklat Online Guru Melek IT, Kompetensi Guru, Motivasi | Tag | Meninggalkan komentar

Latihan memasukkan modul ke dalam postingan

Memasukkan modul langsung ke dalam WordPress

Download Disini LEMBAR KERJA PESERTA DIDIK

Memasukkan Modul dari scribd

Memasukkan modul dari google drive

Download Modul Lembar Kerja Siswa Klik DISINI

Memasukkan Video dari Youtube

Download Video Klik DISINI

 

 

 

 

Dipublikasi di Diskusi, Pembelajaran Aktif, Pembelajaran ke 1, Video suasana belajar siswa | Tag , , , | Meninggalkan komentar

Kegiatan Pembelajaran Aktif

Video Aktivitas siswa sedang diskusi yang cukup ramai.

Dipublikasi di Pembelajaran ke 1, Video suasana belajar siswa | Tag , | Meninggalkan komentar

Kegiatan Pembelajaran

Pendekatan scientific atau lebih umum dikatakan pendekatan ilmiah menjadi keniscayaan dalam kurikulum 2013. Bagaimana langkah – langkah pembelajaran berdasarkan pendekatan scientific yang mencakup lima langkah utama yaitu observing (mengamati), questioning (menanya), associating (menalar), experimenting (mencoba), dan networking (membentuk jejaring), diterapkan dalam pembelajaran matematika kelas VII SMP/MTs. pada materi bilangan?. Sudah sesuaikan buku siswa kelas VII SMP yang ada dengan pendekatan scientific pembelajaran matematika ? Semua akan dijabarkan dan dipaparkan dalam makalah ini.

Kegiatan Pembelajaran

Pendekatan scientific (scientific approach) atau lebih umum disebut dengan pendekatan ilmiah adalah merupakan suatu cara atau mekanisme dalam pembelajaran untuk memfasilitasi peserta didik agar mendapatkan pengetahuan atau keterampilan dengan prosedur yang didasarkan pada suatu metode ilmiah   (Sri Wardani, 2013). Menurut Maria Varelas and Michael (2008:31) dalam M.F. Atsnan dan Rahmita Yuliana Gazali (2013) bahwa metode ilmiah memudahkan guru atau pengembang kurikulum untuk memperbaiki proses pembelajaran, yaitu dengan memecah proses ke dalam langkah-langkah atau tahapan-tahapan secara terperinci yang memuat instruksi untuk siswa melaksanakan kegiatan pembelajaran. Pendapat ini menjadi dasar dari pengembangan kurikulum 2013 di Indonesia.

Slideshow ini membutuhkan JavaScript.

Pada penerapan kurikulum 2013 di sekolah, guru harus menggunakan pendekatan scientific (pendekatan ilmiah) karena dengan pendekatan ini hasil belajar peserta didik lebih efektif dibandingkan dengan pendekatan tradisional. Pendekatan scientific ini disebut juga pendekatan 5M, yaitu mengamati, menanya, menalar, mencoba, dan menyajikan (mempublikasikan). Ada tiga model pembelajaran yang digunakan dalam metode pendekatan scientific, yaitu:

  1. Penemuan
  2. Pembelajaran berbasis proyek
  3. Pembelajaran berbasis masalah

Implementasikan pendekatan scientific dalam proses pembelajaran menyentuh tiga ranah, yaitu:

  • Pengetahuan (kognitif)

Pada ranah pengetahuan menggamit transformasi substansi atau materi ajar agar peserta didik “tahu apa”.

  1. Sikap (afektif)

Pada ranah sikap menggamit transformasi substansi atau materi ajar agar peserta didik “tahu mengapa”.

  1. Keterampilan (psikomotor).

Pada ranah keterampilan menggamit transformasi substansi atau materi ajar agar peserta didik “tahu bagaimana”.

Dengan proses pembelajaran yang demikian, maka diharapkan hasil belajar melahirkan peserta didik yang produktif, kreatif, inovatif, dan afektif melalui penguatan sikap, keterampilan, dan pengetahuan yang terintegrasi. Jadi, dengan adanya pendekatan scientific ini peserta didik dapat berpikir kritis, logis, sistematis dan tepat dalam mengidentifikasi, memahami, memecahkan masalah, serta mengaplikasikan materi pembelajaran.

Langkah-langkah pembelajaran dengan pendekatan ilmiah, antara lain:

  1. Mengamati

Metode ini memiliki keunggulan  tertentu, seperti menyajikan  obyek secara nyata, peserta didik senang dan tertantang, dan mudah pelaksanaannya. Metode mengamati sangat bermanfaat bagi pemenuhan rasa ingin tahu peserta didik. Sehingga proses pembelajaran lebih bermakna. Dengan mengamati peserta didik menemukan fakta bahwa ada hubungan antara obyek yang dianalisis dengan materi pembelajaran yang digunakan oleh guru.

  1.  Menanya

Menginspirasi peserta didik untuk meningkatkan dan mengembangkan ranah sikap, keterampilan, dan pengetahuannya. Guru bertanya kepada peserta didik dan menjawab pertanyaan peserta didik, adalah merupakan aktifitas dalam rangka membimbing atau memandu peserta didik untuk belajar lebih baik.

  1.  Menalar

Menalar adalah suatu proses berpikir yang logis dan sistematis atas fakta-kata empiris untuk memperoleh simpulan berupa pengetahuan. Langkah ini menggambarkan bahwa guru dan peserta didik merupakan pelaku aktip dalam proses pembelajaran. Dan lebih ditekankan agar perseta didik yang memdomonasi keaktifan.

  1.  Mencoba

Untuk memperoleh hasil belajar yang nyata atau otentik, peserta didik harus mencoba atau melakukan percobaan, terutama untuk materi atau substansi yang sesuai. Pada bidang studi matematika, langkah ini dilakukan dengan banyak berlatih dalam menyelesaikan masalah yang terkait dengan materi yang dibahas. Untuk sampai pada langkah memcoba ini tentunya peserta didik harus memahami konsep-konsep matematika dan kaitannya dengan kehidupan sehari-hari. Peserta didik pun harus memiliki keterampilan proses untuk mengembangkan pengetahuan tentang alam sekitar, serta mampu menggunakan metode ilmiah dan bersikap ilmiah untuk memecahkan masalah-masalah yang dihadapinya sehari-hari.

  1.  Menyajikan

Langkah ini menghendaki agar peserta didik mampu menyajikan hasil yang telah diperoleh  dalam proses pembelajaran baik secara individu maupun secara berkelompok. Hasil ini disajikan dalam bentuk laporan tertulis dan dapat dipresentasikan di depan kelas maupun dijadikan sebagai salah satu bahan untuk portofolio kelompok dan atau individu.

Dipublikasi di Pembelajaran ke 1 | Tag | Meninggalkan komentar